• PARTAI POLITIK

    gambarbannerpartaigasing1

    gambarbannerpartaiyoyo1

    logo-apajpg1

    logo-barisannasionaljpg4

    logo-bulanbintangjpg1

    logo-gerindrajpg

    logo-hanurajpg

    logo-panjpg1

    logo-partaidemokratjpg

    logo-partaigarudajpg

    logo-partaigolkarjpg

    logo-pdipjpg

    logo-pibjpg

    logo-pkbjpg

    logo-pkdjpg

    logo-pknujpg

    logo-pkpjpg

    logo-pksjpg

    logo-pmbjpg

    logo-pnimarhaenjpg

    logo-ppijpg

    logo-pppjpg

POLITIK: 99% Capres Dan Caleg Berpotensi Jadi Maling Uang Rakyat

POLITIK-99PersenCapresCalegBerpotensiMenjadiMalingUangRakyat

SISTEM politik Indonesia boleh dikatakan belum profesional. Masih abal-abal. Mulai dari syarat-syarat menjadi capres, cagub, cabup, cawali, caleg yang telalu mudah, syarat mendirikan parpol yang terlalu mudah, koalisi parpol lebih dari 50%, sistem pemilu/pemilukada yang sangat rawan disusupi orang-orang bayaran untuk memenangkan calon pemimpin atau caleg tertentu, hingga ke berbagai instansi politik seperti KPU, Bawaslu maupun MK . Semua bisa disusupi orang-orang politik dari parpol tertentu.

Demokrasi wani piro

Apalagi ditambah dengan demokrasi wani piro. Semuanya serba uang. Ingin jadi caleg, bayar. Ingin jadi cawali, cabup, cagub, capres harus punya modal. Maka para calon politisipun mencari uang dengan segala cara. Mulai dari menjual harta bendanya hingga utang kesana-kemari hanya dengan tujuan mendapatkan kekuasaan.

Motivasi berpolitik yang rendah

Sebagian besar motivasi dari politisi telah berubah dengan radikal. Tidak lagi serius berjuang demi bangsa dan negara, tetapi semata-mata ingin menang, berkuasa, mendapatkan proyek besar, memperkaya diri sendiri dan mempertahankan kekuasaannya untuk periode berikutnya.

Harus balik modal

Karena biaya politik yang tinggi, mulai dari ratusan juta hingga triliunan rupiah, maka pastilah semua politisi berpikir untuk balik modal. Omong kosong kalau ada yang mengatakan tidak ingin balik modal. Politisi yang mengatakan tidak ingin balik modal akan dianggap sbagai politisi bodoh. Maka hampir dipastikan 99% capres dan caleg punya keinginan agar bisa kembali modal.

Harus mendapatkan keuntungan

Balik modal saja tidaklah cukup. Pasti ada keinginan atau motivasi untuk memperkaya diri. Bisa dengan cara mendapatkan proyek-proyek besar. Bahkan kalau kepepet mencari uang dengan segala cara termasuk pemborosan anggaran, cari alasan studi banding ke luar negeri, memanipulasi dana ini dana itu dan jika perlu melakukan korupsi secara besar-besaran. Bahkan jika perlu korupsi berjamaah.

Kenapa harus korupsi?

Mereka korupsi tidak sekadar ingin balik modal, tetapi juga ingin kaya raya dengan cara mudah dan cepat. Ingin rumah mewah, mobil mewah, jalan-jalan ke luar negeri, bunga deposito yang sangat besar, perhiasan emas intan berlian dalam jumlah banyak. Boleh dikatakan tidak ada politisi yang ingin rugi atau jadi kere. Pola pikir dan gaya hidup hedonisme telah meracubi logika dan kehidupan mereka.

Bukankah mereka sudah disumpah?

Bagi mereka sumpah merupakan acara seremonial saja. Basa-basi saja. Soal sanksi hukuman selama masih hidup atau sanksi di akherat, baginya masih abstrak. Itu urusan nanti. Yang penting begitu ada kesempatan korupsi, ya korupsilah.

Ritual agama hanya basa-basi saja

Bukankah mereka rajin beribadah? Ya, iyalah. Tapi bagi mereka, ibadah hanya ritual basa-basi saja. Mereka beribadah hanya fisiknya saja, sedangkan rohaninya tidak beribadah. Mereka adalah orang-orang yang beriman tipis.

Dosa bisa dihapus,kok.

Walaupun mereka tahu korupsi itu dosa, tapi mereka punya anggapan, kalau mereka puasa pada bulan Ramadhan, maka semua dosa-dosanya akan diampuni Tuhan. Apalagi kalau sudah tua nanti, mereka percaya kalau melakukan tobat Nasuha, pastilah semua dosanya akan diampuni Tuhan. Apalagi kalau naik haji, mereka yakin akan masuk sorga. Mereka lupa atau tidak tahu bahwa bertobat itu ada syaratnya, yaitu harus mengembalikan semua hasil korupsinya sesuai dengan nilai sekarang ditambah menjalani hukuman sepenuhnya (tanpa menyuap agar dapat remisi besar atau pengurangan hukuman).

Semangat pro rakyat hanya awalnya saja

Idealisme pro rakyat hanya awalnya saja. Bahkan terkesan hanya basa-basi saja. Yang demi rakyatlah. Demi kersejahteraan rakyatlah.  Sembako murahlah. Pendidikan gratis hingga sarjanalah. Perbaikan jalanlah. Membela petani dan buruhlah. Sejuta idealisme dan janji-janji awal, akhirnya terlupakan karena ada target untuk kembali modal dan memperkaya diri sendiri. Akhirnya idealisme memperjuangkan bangsa dan negara merupakan prioritas ke 999 atau terakhir. Itupun kalau ingat.

Tidak berkualitas

Boleh dikatakan 99% hasil politisi yang terpilih tidak berkualitas. Target pembuatan undang-undang tidak pernah tercapai, hanya sekitar 20% dari target. Anggaran rutin selalu lebih besar daripada anggaran pembangunan. Jumlah utang pemerintah bertambah terus danbukannya berkurang. Pemborosan di berbagai bidang. Pembangunan infra struktur kedodoran.

Capres dan caleg yang tidak profesional

Beberapa capres tergolong tidak profesional. Capres A, mengelola BUMN saja rugi Rp 37 triliun. Capres B, perusahaan-perusaahaannya terlilit utang Rp 78 triliun. Capres C, mengelola perusahaan pribadinya saja terlilit utang Rp 14, 3 triliun. Kalau mengelola perusahaan saja terlilit utang, apalagi mengelola negara : bisa bangkrut! Apalagi caleg. Terlalu mudah jadi caleg. Artis boleh, tukang tambal ban boleh, tukang sol sepatu boleh, mantan pelacurpun boleh. Tidak ada syarat-syarat ketat untuk menjadi politisi. Syarat-syaratnya lebih menitikberatkan syarat-syarat administrasi dan kesehatan. Tidak menitikberatkan syarat-syarat tentang kualitas politisi. Hasilnya adalah politisi-politisi abal-abal.

Korupsi akan semakin merajalela

Hasil pemilu 2014 pastilah akan lebih banyak menghasilkan calon-calon koruptor, sebab persaingannya sangat ketat dan butuh modal politik yang sangat besar. Apalagi, mereka semakin lama akan semakin tahu caranya menjadi koruptor yang profesional. Antara lain dengan cara korupsi berjamaah, menghilangkan barang bukti, memanipulasi barang bukti dan cara-cara lain yang sulit dideteksi oleh PPATK maupun KPK. Artinya, virus korupsi akan berkembang biak dengan lebih luas. Bahkan boleh dikatakan 99% (99% = pengganti kata “sangat banyak”) capres dan caleg berpotensi menjadi koruptor alias maling uang rakyat.

Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku
Sejak 1973

POLITIK: Sistem Politik Indonesia Masih Berbau Tahi Kucing

FACEBOOK-PolitikSistemPolitikIndonesiaMasihBerbauTahiKucing

KENAPA negara dan bangsa Indonesia menjadi terpuruk seperti sekarang? Korupsi, kolusi, nepotisme, pungli, suap, sogok, gratifikasi, kekayaan alam dijual murah dan dikuasai kapitalisme asing, terjadinya bencana hukum, bencana ekonomi, bencana APBN/APBD, bencana perbankan dan berbagai bencana merajalela di Indonesia. Juga, adanya pembiaran-pembiaran aliran anarkisme, anti-Pancasila, mafia di segala bidang dan berbagai keterpurukan di hampir semua sektor sangat mudah kita ketahui bersama. Kalau kita mau jujur, semua akibat sistem politik Indonesia yang masih berbau tahi kucing.

Sistem politik Indonesia masih berbau tahi kucing

Antara lain ditandai oleh beberapa hal.

1.Syarat mendirikan parpol terlalu mudah

2.Syarat menjadi capres terlalu mudah

3.Syarat menjadi caleg terlalu mudah

4.Syarat menjadi pemimpin daerah terlalu mudah

5.Sistem koalisi yang abal-abal

6.Sistem pemilu yang tidak profesional

7.Produk undang-undang yang tidak pro rakyat

8.Penegakan hukum bagi koruptor yang terlalu ringan

9.Sanksi terhadap anggota DPR yang tidak disiplin tidak tegas

10.Sistem demokrasi yang serba uang

Ad.1.Syarat mendirikan parpol terlalu mudah

Syarat mendirikan parpol terlalu mudah. Tidak punya modalpun boleh mendirikan partai. Yang penting berbentuk partai politik dan ada pengurusnya, ada logonya, ada AD/ART-nya dan syarat-syarat administrasi ringan lainnya. Ideologinya boleh apa saja asal tidak bertentangan dengan Pancasila. Karena terlalu mudah, maka berdirilah parpol-parpol yang tidak bonafid. Parpol abal-abal. Parpo kere.

Untuk membayar saksi pemilu saja tidak sanggup dan mengemis ke pemerintah supaya saksi pemilu mereka dibayar memakaian uang APBN yang merupakan uang rakyat. Seolah-olah mereka pro rakyat. Padahal kenyataannya, parpol-parpo di Indonesia kelakuannya sama. Parpol Pancasila, kek. Parpol Islam-kek. Parpol Kafir,kek. Smuanya ingin menang, ingin berkuasa, ingin mendapatkan proyek besar, ingin memperkaya diri sendiri dan ingin melanggengkan kekuasaan dengan segala cara, termasuk cara curang.

Seharusnya:

Syarat mendirikan parpol dipersulit. Antara lain harus mempunyai modal uang yang cukup. Punya bank guarantee. Sanggup membiayai sendiri semua saksi pemilu. Punya kantor di semua provinsi. Punya pengurus yang bersih (tidak terlibat tindak pidana maupun perdata) dan syarat-syarat lain yang sulit.

Ad.2.Syarat menjadi capres terlalu mudah

Syarat menjadi caprespun terlalu mudah. Sebagian besar hanya menitikberatkan syarat-syarat administrasi dan kesehatan. Yang penting ada kemauan dan punya uang. Ada dukungan dari parpol. Apalagi punya uang banyak, boleh jadi capres. Tidak ada syarat-syarat yang mendukung kualitas capres. Capres yang bodoh, mudah dikadalin para menterinya.

Seharusnya:

Seharusnya semua capres mengikuti berbagai tes kualitas. Mulai dari tes IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotipnality Quotient), SQ (Spiritual Quotient), LQ (Leadership Quotient), AQ (Aptitude Quotient), HQ (Healthy Quotient), MQ (Morality Quotient), pro Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan mempunyai sifat-sifat negarawan, minimal berpendidikan S1 atau S2 atau S3, tidak merangkap sebagai pengurus parpol dan syarat-syarat lain yang menitikberatkan kualitas capres.

Ad.3.Syarat menjadi caleg terlalu mudah

Menjadi calegpun terlalu mudah. Tukang tambal ban boleh, mantan pelacur boleh, pokoknya siapa saja boleh. Apalagi kalau berani bayar mahal, bisa dipertimbangkan pasti jadi caleg. Tidak ada tes IQ.  Orang goblokpun boleh jadi caleg. Orang tidak memahami ilmu hukum, ilmu ekonomi dan ilmu-imu lainpun boleh. Tanpa syarat ketat, akan melahirkan wakil-wakil rakyat yang korup. Jadi maling uangnya rakyat.

Seharusnya:

Sama dengan syarat untuk menjadi capres. Seharusnya semua caleg mengikuti berbagai tes kualitas. Mulai dari tes IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotipnality Quotient), SQ (Spiritual Quotient), LQ (Leadership Quotient), AQ (Aptitude Quotient), HQ (Healthy Quotient), MQ (Morality Quotient), pro Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan mempunyai sifat-sifat negarawan, minimal berpendidikan S1 atau S2 atau S3.

Ad.4.Syarat menjadi pemimpin daerah terlalu mudah

Terlalu mudah juga. Asal punya uang, baik uang sendiri maupun uang hasul utang, boleh jadi pemimpin daerah. Orang cengengpun boleh jadi calon pemimpin daerah. Yang penting dapat dukungan parpol. Soal dukungan rakyat bisa dengan cara money politic. Tidak punya jiwa negarawan juga boleh. Bukan kader p0arpolpun boleh. Artis juga boleh. Sistem yang lemah akan melahirkan capimda yang korup dan semena-mena.

Seharusnya:

Sama dengan syarat menjadi capres. Seharusnya semua capimda (calon pemimpin daerah : walikota, bupati, gubernur) mengikuti berbagai tes kualitas. Mulai dari tes IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotipnality Quotient), SQ (Spiritual Quotient), LQ (Leadership Quotient), AQ (Aptitude Quotient), HQ (Healthy Quotient), MQ (Morality Quotient), pro Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan mempunyai sifat-sifat negarawan, minimal berpendidikan S1 atau S2 atau S3.

Ad.5.Sistem koalisi yang abal-abal

Sistem koalisi juga belum profesional. Masih koalisi “sak karepe dewe”. Koalisi berdasarkan pertimbangan balas budi. Koalisi berdasarkan “politik dagang sapi”. Koalisi yang lebih mementingkan kepentingan parpo daripada kepentingan rakyat. Koalisi yang ingin menguasai DPR sehingga menjadi kekuatan tunggal yang otoriter. Koalisi lebih dari 50% akan menghasilkan undang-undang yang tidak pro rakyat melainkan pro kapiralis asing atau negara asing.

Seharusnya:

Seharusnya, koalisi parpol dibatasi maksimal 50%, sehingga ada keseimbangan kekuatan di DPR. Yaitu, 50% pro pemerintah dan 50% sebagai “partai oposisi”. Dengan demikian fungsi DPR sebagai lembaga kontrol eksekutif bisa berjalan secara efektif. Tidak menjadi DPR yang “yes man” atau “tukang stempel”-nya pemerintah.

Ad.6.Sistem pemilu yang tidak profesional

Sistem pemilu sekarang ini tidak profesional. Mengurus DPT (Daftar Pemilih Tetap) saja amburadul, kacauu balau atau karut marut. Itu berarti manajemen data kependudukan juga kacau balau. Sistem pemberian NIK juga tidak profesional. Manajemen E-KTP juga amburadul. Update E-KTP saja butuh waktu berbulan-bulan bahkan bisa bertahun-tahun. DPT kacau pastilah membuka peluang pemilu yang kacau dan curang. Sistem institusi pemilu juga mudah disusupi oknum-oknum yang gampang disuap dan disogok. Masih dimungkinkan adanya manipulasi data suara. Tidak ada transparansi dalam pemilu. Hasil pemilu tidak bisa diaudit. Penguasapun bisa menyusupkan orang-orangnya di semua institusi pemilu dari pusat hingga daerah, juga di MK (Mahkamah Konstitusi) dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Bahkan TNI/Polri?birokrasipun bisa dikendalikan oleh penguasa. Pemilu juga sangat rawan korupsi.

Seharusnya:

Seharusnya sistem pemilu offline diganti dengan sistem pemilu online. Harus didukung para pakar TI (Teknologi Informasi) yang profesional. Semua pemilih menggunakan E-KTP. NIK (Nomor Induk Kependudukan)  harus diubah menjadi NUK (Nomor Urut Kependudukan) sebab sistem NIK bisa mengacaukan sistem pendataan dan update data penduduk. Juga bisa mengacaukan penyusunan DPT. Pemilu maupun pemilukada sangat hemat, bisa menghemat uang rakyat hingga ratusan triliun. Bisa meminimalkan praktek-praktek korupsi. Ttransparan. Hasil pemilu bisa dikontrol masyarakat secara online. Memperkecil kecurangan karena rakyat bisa mencocokkan hasil pemilu di TPS-nya dengan hasil online. Hasil pemilu harus diumumkan per-TPS, kemudian per-kelurahan, per-kecamatan,per kabupaten/lota,per-provinsi dan terakhir secara nasional.

Ad.7.Produk undang-undang yang tidak pro rakyat

Karena selama ini terlalu mudah menjadi caleg, maka hasilnya adalah wakil-wakil rakyat yang koplak, bodoh, atau pandai tapi tidak bermoral. Tidak amanah. Tidak pro rakyat. Sehingga undang-undang yang dibuatnya juga lebih menguntungkan kepentingan parpolnya atau koalisi parpolnya. Undang-undang KPK-pun mulai dipreteli, kewenangan KPK-pun dikurangi dan undang-undang yang bersifat menguntungkan mereka daripada kepentingan bangsa dan negara. Bahkan banyak undang-undang demi kepentingan kapitalis asing atau negara asing.

Seharusnya:

Seharusnya pembuatan undang-undang harus melibatkan berbagai pakar hukum se-Indonesia, para ulama semua agama se-Indonesia, juga melibatkan buruh, karyawan dan semua yang berhubungan dengan RUU yang sedang disusun. Undang-undang harus lebih bersifat menguntungkan bangsa dan negara. Harus lebih pro rakyat, terutama rakyat miskin. Harus memprioritaskan nasionalisasi kekayaan alam. Harus menekankan kedaulatan rakyat,kedaulatan hukum, kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik tanpa campur tangan atau didikte negara sing, baik Amerika dan sekutunya maupun Negeri Onta dan sekutunya. APBN harus diefisienkan. Utang pemerintah harus diperkecil secara bertahap hingga nol. Dan undang-undaang lain yang menguntungkan bangsa dan negara.

Ad.8.Penegakan hukum bagi koruptor yang terlalu ringan

Hukuman bagi koruptor terlalu ringan. Hukum  dan para penegak hukum terkesan sangat bisa dibeli. Koruptor bisa menikmati hidup yang nyaman di LP (Lembaga Pemasyarakatan). Siang tidur di LP, malam tidir di rumah, hotel atau rumah kontrakan yang lokasinya dekat dengan LP. Hukuman bisa dikurangkan. Remisi bisa dibeli. Bahkan grasipun bisa dibeli. Bebas bersyarat juga bisa diteebus pakai uang.

Seharusnya:

Seharusnya kita punya presiden yang memahami hkum. Jujur, bersih, berani dan tegas. Hukuman bagi koruptor harus diperberat. Jika perlu hukuman mati. Untuk itu undang-undang yang berhubungan dengan korupsi, harus ditingkatkan kualitasnya. Harus ada undang-undang tentang pembuktian terbalik, undang-undang pemiskinan koruptor, hukuman minimal harus ditingkatkan, misalnya minimal 10 tahun. Seharusnya para koruptor tidak perlu mendapatkan remisi ataupun keringanan hukuman. Walaupun hukuman mati tidak efektif, tetapi  perlu dilakukan.

Ad.9.Sanksi terhadap anggota DPR yang tidak disiplin tidak tegas

Selama ini ruang sidang di DPR sering kosong. Bisa terjadi karena tata tertibnya terlalu biasa. Tidak ada sanksi yang tegas bagi anggota DPR yang membolos, tidak disiplin, tidur saat sidang dan lain-lain. Walaupun ada sistem daftar hadir menggunakan sistem sidik jari, tapi tetap mubazir karena tidak ada sanksi yang tegas.

Seharusnya:

Seharusnya, anggota DPR yang tidak hadir dalam sidang tiga kali berturut-turut atau tidak berturut-turut harus dikenakan sanksi yang tegas, misalnya tidak berhak menerima tunjangan apapun selama tahun tersebut. Jika kemudian tiga kali lagi tidak hadir, harus dikenakan sanksi dikeluarkan dari keanggotaannya di DPR.

Ad.10.Sistem demokrasi yang serba uang

Semua orang tahu. Sistem politik di Indonesia serba uang. Demokrasi “Wani Piro”.Bahkan sistem birokrasi kita juga serba uang. Semua serba uang. Ingin jadi caleg/cawali/cabup/cagub/capres harus ada uang. Untuk mendirikan parpol harus ada uang. Hasilnya adalah parpol korup, caleg korup, cawali korup, cabup korup, cagub korup, capres korup apabila mereka menang dan terpilih.

Seharusnya:
Perlu adanya sistem penyeleksian, tes dan pemilihan secara online yang didukung Bank Soal dan Sistem Acak. Semuanya secaraa online. Didukung E-KTP dan sistem sidik jari yang tidak mungkin bisa dipalsukan. Sebuah sistem yang hemat, jujur, akurat dan hasilnya bisa segera dilihat.

Kesimpulan:

-Selama sistem politik Indonesia masih bau tahi kucing, selama itu juga Indonesia tetap penuh diwarnai praktek-praktek korupsi, kolusi, nepotisme, suap, sogok, gratifikasi, hilangnya kedaulatan ekonomi, kedaulatan hukum, kedaulatan politik, kedaulatan sumber daya alam, kedaulatan perbankan dan berbagai kedaulatan lainnya. Karena sistem politiknya masih bau tahi kucing, maka pemilu maupun pemilukada lebih banyak menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang berbau tahi kucing juga.

-Selama sistem politik Indonesia masih berbau tahi kucing, maka solusi terbaik yaitu: Golput.

Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku
Sejak 1973

POLITIK: DPT Kacau Pemilu 2014 Pemilu Haram

POLITIK-DPTKacauPemilu2014PemiluHaram

PEMILU tinggal beberapa bulan lagi. Namun kenyataannya DPT masih banyak yang kacau, baik yang di KPU maupun yang di daerah-daerah. Penyebab kekacauan DPT banyak, antara lain disebabkan sistem pemberian NIK yang juga kacau. Bahkan ada satu pemilih memiliki tiga buah NIK yang berbeda. Jika DPT kacau, maka peluang terjadinya kecurangan di dalam Pemilu 2014 sangat besar.

Beberapa penyebab kacaunya DPT
Antara lain:

1.Koordinasi KPU dan Kemendagri bermasalah

(Sumber: merdeka.com/politik/ppp-dpt-kacau-koordinasi-kpu-dan-kemendagri-bermasalah.html)

2.Ada kemungkinan KPU tidak independen dan membiarkan DPT tetap kacau

(Sumber: suarapembaruan.com/home/publik-curiga-kpu-tidak-independen-dan-sengaja-membiarkan-dpt-kacau/45614)

3.DPT tanpa NIK

(Sumber: metrotvnews.com/metronews/read/2013/11/29/1/198054/Kesalahan-4.Pantarlih-munculkan-DPT-Tanpa-NIK)

4.NIK ganda

(Sumber: antarajatim.com/lihat/berita/68506/dirjen-kependudukan-temukan-tujuh-juta-nik-ganda)

5.NIK siluman

(Sumber: hariansenator.com/v1/demokrasi/420-kembali-bawaslu-temukan-nik-siluman-)

Dan sebab-sebab lainnya.

Garbage in garbage out

Di dalam ilmu komputer kita mengenal istilah “garbage in garbage out”, yang berarti kalau yang masuk sampah, maka yang keluar juga sampah. Artinya, kalau DPT pemilu kacau dan bermasalah, maka hasil pemilu dapat dipastikan juga bermasalah.

Tidak ada jaminan pemilu jujur

Jika DPT tanpa NIK dan direkayasa diberi NIK dan masih banyaknya DPT bermasalah dan dipaksakan untuk disahkan atau ditetapkan, maka tidak ada lagi jaminan Pemilu 2014 akan berlangsun secara jujur karena pasti ada pihak-pihak yang memanfaatkan DPT yang tidak 100% valid itu untuk melakukan kecurangan-kecurangan sehingga hasil pemilu juga sangat layak diragukan validitasnya.

Tidak profesional

Salah satu penyebab kacaunya sistem pemberian NIK adalah tidak profesionalnya para SDM yang terlibat dalam sistem pemberian NIK. Sedangkan sistem NIK sendiri juga bermasalah karena bersifat tidak permanen. Misalnya jika pemilik NIK berpindah tempat, maka NIK-nya juga berubah, walaupun yang berubah hanya kode wilayahnya. Kelihatannya sepele, tidak hanya dapat menimbulkan kekacauan DPT, tetapi bagi pemilik KTP yang mempunyai rekening di bank juga harus melakukan update data dan update data juga berlaku di mana-mana. Tidak praktis dan kacau.

NIK yang seharusnya

Seharusnya NIK merupakan nomor urut penduduk yang permanen. Dengan asumsi suatu saat nanti penduduk Indonesia mencapai angka 9 milyar penduduk, maka NIK berdasar nomor urut harus dimulai dari 0.000.000.000.001 hingga 9.999.999.999.999. Contoh: Si A memiliki nomor urut kependudukan 0.000.142.430.007. Kemanapun Si A pindah domisili, NIK-nya tidak berubah. Sistem ini tidak sulit asal pemerintah mempunyai Bank Data yang terisi Bank Kependudukan, Bank Foto dan Bank Sidik Jari.

Pemilu 2014 pemilu haram

Jika DPT masih bermasalah karena ada NIK yang dipaksakan, NIK asal jadi, BK sulapan,NIK ganda, NIK siluman, NIK sementara,penulisan NIK yang salah tetap ditetapkan atau disahkan sebagai DPT Pemilu di mana DPT tersebut dianggap valid, maka yang terjadi adalah pemilu yang diragukan kejujurannya. Potensi kecurangan sangat besar baik yang dapat dibuktikan maupun yang sangat sulit dibuktikan. Apalagi hasil pemilu tidak dapat atau tidak boleh diaudit oleh para kontestan pemilu maupun oleh lembaga audit independen (kalau ada), maka boleh dikatakan Pemilu 2014 merupakan pemilu yang haram.

Hariyanto Imadha
Pengamat Perilaku
Sejak 1973