SUDAH enam kali pemilu dan tiga kali pilkada saya golput. Alasannya, belum ada capres-cawapres dan calon wakil rakyat yang benar-benar berkualitas. Selain itu, sistem politik Indonesia juga saya nilai belum profesional, terutama sistem pemilunya. Sistem pemilu yang dilakukan secara offline masih sangat rawan untuk terjadinya manipulasi data suara. Walaupun sudah menggunakan fasilitas teknologi informasi berupa komputer dan internet, namun sifatnya masih bersifat transfer data saja.
Masih ada celah-celah kecurangan
Kecurangan bisa saja terjadi pada tingkat KPU Pusat, KPUD dan pada perangkat TI itu sendiri.
Kecurangan pada tingkat KPU Pusat
Bisa saja terjadi, sebuah parpol yang ingin menang, menyusupkan “oknum” di KPU Pusat. Atau, menyuap oknum KPU Pusat dengan janji uang, jabatan,bisnis,proyek atau ditarik sebagai pengurus parpol tersebut. Jika perlu,dengan intimidasi.Dengan syarat, oknum KPU Pusat tersebut bersedia memanipulasi data dengan cara-cara tertentu.
Kecurangan pada tingkat KPUD
Bisa saja terjadi, sebuah parpol yang ingin menang, menyusupkan “oknum” di KPUD. Atau, menyuap oknum KPUD dengan janji uang, jabatan,bisnis,proyek atau ditarik sebagai pengurus parpol tersebut.Jika perlu,dengan intimidasi. Dengan syarat, oknum KPU Pusat tersebut bersedia memanipulasi data dengan cara-cara tertentu.
Kecurangan pada perangkat TI
Bisa saja, program yang diinstal di komputer berubah secara otomatis demi kepentingan parpol tertentu. Misalnya, tiap 5% suara dari parpol lain ditambahkan ke parpol yang ingin menang.
Tidak ada saksi dari parpol
Saksi parpol hanya ada di TPS. Yang pasti tidak ada saksi parpol yang jaga di kantor KPU Pusat maupun KPUD. Dengan demikian bisa saja terjadi kecurangan atau manipulasi data terjadi di tingkat penympanan berkas-berkas pemilu. Toh, tidak ada saksi parpol yang jaga di kantor KPU Pusat atau KPUD.
Rekayasa program
Pada saat perhitungan di KPU Pusat, memang ada saksi parpol. Namun lagi-lagi mereka tak ada yang jaga di kantor KPU Pusat. Sehingga tak bisa memantau atau melakukan verifikasi data. Lagipula para saksi parpol dan rakyat Indonesia hanya tahu total akhirnya saja. Misalnya Partai A 20%, partai B 15% dan seterusnya. Tidak ada yang tahu bagaimana “sejarah”nya. Tidak tahu darimana asal mula angka ttersebut.
Solusi
Solusi tterbaik yaitu menyelnggarakan pemilu online untuk daerah-daerah yang sudah memunginkan dan pemilu offline untuk daerah-daerah yang belum memungkinkan. Program harus dibuat oleh kelompok programmer yang profesional. Harus diuji coba dulu kehandalannya dan disaksikan semua pengurus parpol. Program pemilu offline juga harus memenuhi persyaratan keamanan agar tak diserang hacker. Para pemilih juga sudah memiliki KTP nasional dengan NIK permanen dan dilengkapi dengan miicrochip.
Di dalam pemilu online, semua orang bisa memantau kebenaran data perolehan suara per-TPS, per kabupaten/kota,per-provinsi dan total perolehan suara secara nasional. Dengan demikian, tiap orang bisa melakukan verifikasi atas kebenaran data suara.
Misalnya
Di TPS 17,Kabupaten X,Provinsi Y,perolehan parpol A 123.4567 suara, partai B 89.124 suara dan seterusnya. Bisa dicocokkan dengan data lokal atau laporan setempat.
Masalahnya, kapan?
Sumber foto: latansablog.wordpress.com
Hariyanto Imadha
Facebooker/Blogger
Filed under: Uncategorized | Tagged: data, hariyanto imadha, manipulasi, offline, pemilu, politik, rawan, sangat, suara |
Semua komentar otomatis akan dihapus