ADA logika yang menyesatkan :” Pilihlah capres terbaik dibandingkan semua capres yang ada”. Kelihatannya benar, tapi menyesatkan. Sebab, jika Anda tanyakan ke 1.000 orang : “Apa kriteria capres terbaik?”, maka akan menghasilkan 1.000jawaban yang berbeda. Kebenaran logika itu bersifat objektif sama, bukan subjektif berbeda.
Analogi
Sama saja dengan sebuah buku. Ketika ditanyakan ke 1.000 pembacanya:” Bagaimana komentar Anda tentang buku itu?” Maka akan menghasilkan 1.000 jawaban yang berbeda.
Relativitas persepsi
Persepsi orang tidak sama, sebab pemahaman dan cara berpikirnya juga tidak sama. Tingkat ilmunya juga tidak sama. Wawasan berpikirnya juga tidak sama. Cara pandangnya juga tidak sama. Cara berlogikanya juga tidak sama.
Subjektivitas persepsi
Tetapi, 1.000 orang bisa punya persepsi yang sama manakala menyangkut popularitas. Misalnya, siapa yang layak jadi capres 2014? Boleh dikatakan 1.000 orang akan menjawab “Jokowi”. Hal ini bisa terjadi karena adanya publisitas. Adanya berita-berita gratis yang terus-menerus memberitakan sosok Jokowi dan ini dilakukan oleh berbagai media massa.
Popularitas dan elektabilitas
Tapi apakah capres yang popularitas tinggi pasti berkualitas? Apakah capres yang popularitas tinggi pasti punya elektabilitas yang tinggi? Pertanyaan ini terlalu sulit jika ditanyakan ke 1.000 orang yang bermacam-macam latar belakang pendidikannya. Walaupun mereka menjawab, paling-paling “asal menjawab” atau menjawab berdasarkan “ilmu kira-kira”.
Apa sih kriteria capres yang terbaik?
Pertanyaan ini jelas tersulit karena tiap orang punya persepsi yang berbeda-beda. Katakanlah, capres A dinilai sebagai capres terbaik oleh Si P, tetapi dinilai sebagai capres terburuk oleh Si Q dan seterusnya.
Nasehat yang menyesatkan
Ada nasehat datang dari seorang profesor (tapi bukan profesor ilmu logika) berbunyi: “Pilihlah capres terbaik dari semua capres yang ada. Jangan golput, karena capres -capres lain akan mengatur strategi” dan seorang ulama (tetapi bukan ulama bidang ilmu logika) yang berbunyi : “Pilihlah capres yang terbaik dari semua capres yang jelek” atau “Pilihlah capres yang berkualitas walaupun semuanya tidak berkualitas”.
Nasehat yang salah
Bagi yang tidak faham Ilmu Logika tentu menganggap nasehat itu benar. Padahal, nasehat itu berbasiskan logika yang salah. Kenapa salah? Salah, karena semua orang punya kriteria tentang “capres terbaik” yang berbeda-beda. Sifatnya subjektif. Tidak didukung fakta-fakta objektif yang bisa dipertanggungjawabkan. Akibatnya, para pemilih akan memilih berdasarkan “ilmu kira-kira” dan tidak berdasarkan fakta-fakta yang objektif dan rasional. Misalnya: track record-nya (rekam jejak), latar belakang kehidupannya, prestasi sebelumnya dan lain-lain.
Hati nuranipun bisa salah
Ada lagi nasehat yang salah: “Pilihlah capres sesuai hati nuranimu”. Bagi yang faham psikologi tentu tahu bahwa hati nurani orang berbeda-beda. Misalnya Si A memilih capres No.1 berdasarkan hati nurani. Si B memilih capres No.2 berdasarkan hati nurani. Si C memilih capres No.3 berdasarkan hati nurani. Lucu sekali, hati nurani kok berbeda-beda. Hati nurani yang berbeda-beda artinya hati nurani yang salah. Kebenaran itu harus sama, objektif, faktual dan universal.
Golput lebih baik daripada salah pilih
Betapapun juga, golput lebih baik daripada salah pilih. Salah pilih bisa menimbulkan bermacam-maca bencana. Bencana ekonomi, bencana hukum, bencana korupsi, bencana politik, bencana APBN, bencana sumber daya alam dikuras habis oleh kapitalis asing, bencana pelanggaran HAM, bencana perbankan dan lain-lain. Golput adalah hak setiap warganegara dan tidak melanggar undang-undang apapun juga. Bahkan Tuhanpun tidak melarang. Fatwa golput itu itu kan hasil pendekatan politik. Aneh kalau sesuatu yang tidak melanggar undang-undang dikatakan haram.
Lantas, apa kriteria capres terbaik?
Tidak penting soal kriteria. Yang terpenting pemahaman para pemilih terhadap para capres. Tahukan track recordnya? Tahukan masa lalunya? Tahukan pendidikannya? Tahukan kepribadiannya? Tahukah kehidupan rumah tangganya? Tahukan kehidupan beragamanya jauh sebelum jadi capres? Tahukah darimana asal kekayaannya? Tahukan kalau capres itu tidak pro negara nekolim dan tidak pro negeri-negeri onta? Tahukan tentang kenegarawanannya? Tahukan capres itu manajer politik atau manajer negara dan bangsa? Tahukah kepribadiannya? Tahukah capres itu punya riwayat hidup yang bersih sejak kecil hingga jadi capres? Tahukah apa kemampuan yang dimiliki capres dalam mengelola bangsa dan negara? Tahukah Indonesia akan dijadikan negara apa selama dia jadi capres? Dan yang paling sulit, tahukah bahwa capres tersebut benar-benar bersih, benar-benar jujur,benar-benar cerdas dan benar-benar amanah atau pro rakyat?
Kesimpulan
– Soal kriteria capres terbaik,tiap orang punya kriteria yang berbeda, sehingga para pemilih bisa salah pilih.
-Kualitas capres terpilih, merupakan cermin daripada kualitas para pemilihnya.
Kalau Anda menilai pemimpin yang sekarang tidak berkualitas, itulah cermin kualitas para pemilihnya.
Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku
Sejak 1973
Filed under: Uncategorized | Tagged: apa, capres, golput, hak, hariyanto imadha, kriteria, paling berkualitas, politik, relativitas persepsi, setiap, sih, terbaik, warganegara | Komentar Dinonaktifkan pada POLITIK: Apa Sih Kriteria Capres Yang Terbaik?