• PARTAI POLITIK

    gambarbannerpartaigasing1

    gambarbannerpartaiyoyo1

    logo-apajpg1

    logo-barisannasionaljpg4

    logo-bulanbintangjpg1

    logo-gerindrajpg

    logo-hanurajpg

    logo-panjpg1

    logo-partaidemokratjpg

    logo-partaigarudajpg

    logo-partaigolkarjpg

    logo-pdipjpg

    logo-pibjpg

    logo-pkbjpg

    logo-pkdjpg

    logo-pknujpg

    logo-pkpjpg

    logo-pksjpg

    logo-pmbjpg

    logo-pnimarhaenjpg

    logo-ppijpg

    logo-pppjpg

POLITIK: Gambaran Gagasan Pemilu Online (E-Vote)

FACEBOOK-PolitikGambaranGagasanPemiluOnlineEVote

BEBERAPA tahun yang lalu, penulis sudah mengusulkan Pemilu Online atau E-Vote. Dan April 2014 mengusulkan lagi melalui surat pembaca yang penulis kirimkan ke 125 surat kabar. Untuk memberikan gambaran tentang pemilu online tersebut, di dalam artikel ini penulis akan memberikan gambaran tentang apa dan bagaimananya pemilu online tersebut. Dengan demikian penulis mengharapkan tidak adanya salah persepsi ataupun salah paham tentang gagasan penulis tersebut.
Apakah pemilu online (e-vote) itu?
Yaitu pemilu yang menggunakan sarana internet secara online.

Apa sarana yang diperlukan di tiap TPS?
Cukup dua buah monitor LCD layar sentuh dan dua buah CPU komputer yang bisa internet, terutama dilengkapi dengan modem. Yang digunakan hanya sepasang CPU dan monitor layar sentuh. Sedangkan yang satu set lagi untuk cadangan.

Apakah syarat untuk memilih?
Syarat mutlak yaitu tiap pemilih harus memiliki E-KTP yang tentu saja ada NIK-nya.

Untuk siapa pemilu online itu?
Untuk capres/cagub/cabup/cawal;i/caleg. Jadi bisa untuk pilpres/pileg/pemilukada gabungan serentaksekaligus online/

Apa syarat menjadi politisi?
Syarat menjadi politisi (capres/cagub/cabup/cawali/caleg) mengikuti bermacam-macam tes online : Tes IQ, EQ,SQ,LQ dan berbagai tes lain yang relevan. Hanya menampilkan dua nama politisi (capres/cagub/cabup/cawali ) yang mendapat nilai tertinggi yang boleh ikut pemilu. Tujuannya supaya pemilu hanya satu putaran saja. Sedangkan untuk caleg ditampilkan 10 nama per dapil dengan syarat mempunyai nilai tertinggi. Otomatis diumumkan secara online dan masing-masing akan mendapatkan kode atau PIN yang diberikan secara otomatis oleh program.

Apa yang ditampilkan di layar sentuh monitor?
Hanya menampilkan logo dan nama parpol serta kode atau PIN dari para politisi. Tidak ada foto atau nama lengkap politisi. Semua politisi yang ditampilkan adalah politisi berkualitas dengan nilai tertinggi.

Bagaimana cara memilihnya?
Pemilih cukup memasukkan NIK (boleh dibantu petugas). Masuk ke bilik suara. Pemilih hanya melakukan “legitimasi” saja. Suara terbanyak sebagai pemenang. Pemilih hanya menekan (dengan telunjuk) PIN dari para politisi (di bawah logo partai) dan atau menekan logo partai di layar sentuh. Sebelum memilih, tiap pemilih mendapat petunjuk singkat cara memilih yang diberikan oleh petugas, baik melalui brosur maupun peragaan atau demo singkat.

Pemilih bisa memilih di mana?
Pemilih bisa memilih di mana saja, baik di dalam/luar negeri asal punya NIK. Tidak meungkin memilih dari satu kali karena begitu NIK dimasukkan ke server, maka NIK langsung di-“hold” atau dikunci (tidak mungkin ada NIK sama bisa masuk ke server).

Apa saja keuntungan pemilu online?
1.Sangat menghemat biaya. Apalagi kalau pilpres/pemilukada/pile dilakukan secara bersamaan dan serentak.
2.Sangat menghemat tempat, karena hanya perlu sepasang komputer yang bisa online
3.Menghemat waktu, karena hasil pemilu bisa diketahui dari waktu ke waktu dan nama-nama pemenangnya akan diketahui atau ditampilkan secara otomatis sesudah proses pemilu selesai 100%
4.Bagi daerah yang belum terjangkau internet, tetap bisa melakukan pemilu offline.
5.Tetap tersedia lembar Braille bagi para tuna netra
6.Para politisi tidak perlu biaya kampanye karena politisi yang boleh maju adalah mereka yang lulus tes online terbaik dan tidak dipungut biaya. Cukup sediakan biaya kampanye parpol saja.
7.Tidak ada gunanya money politic karena pemilih tidak memilih nama tetapi memilih PIN. Para politisi dan pemilih tidak tahu PIN itu milik siapa karena hanya program saja yang mengetahuinya. PIN diberikan komputer online secara otomatis. Listing program sudah di-compile dan tidak mungkin bisa direkayasa.
8.Tidak perlu takut hacker karena ada anti-hacker (24 hours watchdog)
9.Bermacam-macam kecurangan hampir 0% karena pemilu online tidak bisa direkayasa seperti pada pemilu offline.
10.Tidak perlu quick count dan tidak perlu adanya lembaga survei karena smua politisi yang ikut pemilu adalah politisi yang lulus tes terbaik. Hasil pemilu juga langsung bisa diketahui begitu proses pemilu selesai. Langsung diketahui siapa pemenangnya hari itu juga.

Apa saja yang bisa dihemat?
1.Tidak perlu surat suara
2.Tidak perlu kotak suara
3.Tidak perlu tinta pemilu
4.Tidak perlu formulir C1, C5,C6 dan berbagai formulir lainnya
5.Hanya butuh TPS. Tidak perlu petugas kelurahan, kecamatan dan seterusnya yang mengurusi pemilu.
6.Tidak perlu saksi
7.Tidak perlu ada money politic
8.Tidak perlu kampanye nama politisi kecuali hanya kampanye nama dan logo parpol
9.Tidak ada kecurangan atau rekayasa kecurangan pemilu
10.Tidak perlu tenaga melipat kertas
11.Tidak perlu kerjasama dengan percetakan
12.Tidak perlu petugas pengawal pengiriman surat suara (karena tidak memakai surat suara)
13.Tidak perlu penyimpanan kotak suara (karena tidak memakai kotak suara)
14.Tidak perlu pendataan pemilih asal semuanya sudah punya E-KTP (NIK)
15.Panitia pemilu tidak perlu membuat laporan apapun sebab semuanya sudah dikerjakan program pemilu online

Lain-lain
-Bagi TPS yang tidak ada aliran listrik, bisa menggunakan genset atau laptop yang baterainya sudah di-charge (full)
-Diprogram sedemikian rupa sehingga pemilu online hanya satu putaran saja.
-Sebelum pemilu online, boleh saja mengkampanyekan nama-nama politisi, tapi saat pemilu online, hanya PIN saja yang ditampilkan (tidak ada nama dan foto)
-Semua hal yang berhubungan dengan pemilu, sudah harus diprogramkan.
-Untuk mengurangi angka golput, tak ada salahnya pemilu online berhadiah untuk 100.000 pemilih @ Rp 10 juta (total hanya Rp 1 T) yang nama-nama pemenangnya langsung diumumkan secara online begitu pemilu online selesai berproses hari itu juga.
-Untuk mencegah korupsi, itu tugasnya KPK untuk membuat Sistem Pencegahan Korupsi yang benar-benar efektif dan efisien.

Kesimpulan
Pemilu online atau e-vote menghemat berbagai hal

-Hemat biaya
-Hemat SDM (tenaga)
-Hemat waktu
-Hemat sarana dan prasarana
-Hemat pikiran
-Hemat tempat
-Hemat lain-lain

Hariyanto Imadha
Pengusul Pemilu Online (E-Vote)
SMS Only: 081-330-070-330

POLITIK: Beda Golput Koplak Dan Golput Cerdas

FACEBOOK-PolitikBedaGolputKoplakDanGolputCerdas

GOLPUT adalah hak setiap warganegara dan merupakan hak konstitusional. Juga, merupakan hak pribadi. Mereka yang anti golput pastilah orang-orang yang tidak faham konstitusi. Tidak faham undang-undang pemilu. Suka mencampuri urusan orang lain dan berkepribadian sirik. Bahkan, sikap anti golput merupakan sikap koplak dan gemblung. Lebih parah lagi, membenci golput merupakan gejala sakit jiwa tahap awal. Sangat banyak alasan golput, mulai dari alasan subjektif hingga alasan objektif.

Apakah golput itu?
Golput atau golongan putih adalah merupakan pilihan untuk tidak memilih. Merupakan hak pribadi, hak konstitusional dan tidak melanggar undang-undang pemilu maupun undang-undang maupun peraturan yang manapun juga. Golput juga merupakan keputusan yang diambil berdasarkan situasi dan kondisi baik yang bersifat subjektif maupun objektif baik secara internal maupun eksternal.

Ada berapa macam golput?

Dari sudut kecerdasan, ada dua macam golput

Yaitu:

1.Golput koplak
2.Golput cerdas
3.Golput lain-lain

Ad.1.Golput koplak

Ciri-ciri golput koplak:

-Ada capres dan caleg berkualitas (bersih,jujur,cerdas,track record baik) tapi tidak dipilih

-Sebagian dari mereka datang ke TPS tetapi dicoblos semua
-Sebagian dari mereka juga tidak datang ke TPS

-Biasanya mereka mempunyai sikap:

a.Apatis
b.Skeptis
c.Pesimis

Ad.a.Apatis

Apatis adalah sikap acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh, kurangnya emosi, motivasi atau antusiasme, hilangnya simpati, hilangnya ketertarikan dan hilangnya kepercayaan.

Ad.b.Skeptis

Skeptis adalah sikap ragu-ragu, kurang percaya,kurang yakin,sinisme,tidak percaya terhadap kemampuan atau kepribadian seseorang (capres maupun caleg).

Ad.c.Pesimis

Yaitu orang yang berpandangan tidak baik terhadap hasil kerja atau hasil usaha orang lain atau dirinya sendiri terhadap fakta yang akan terjadi.  Atau memandang sesuatu dengan pandangan negatif, padahal belum tentu negatif.

Ad.2.Golput cerdas

-Tidak ada capres dan caleg berkualitas dan tidak perlu dipilih. Semuanya tidak bersih, tidak jujur dan track recordnya buruk

-Mereka pasti datang ke TPS dan mencoblos semua

Biasanya mereka mempunyai sikap

a.Peduli  (Care)
b.Tidak ragu-ragu (Sure)
c.Optimis (Optimist)

Ad.a.Peduli (Care)

Yaitu sikap yang peduli terhadap kepentingan bangsa dan negara, agar tidak dipimpin oleh capres/caleg yang tidak berkualitas.

Ad.b.Tidak ragu-ragu (Sure)

Yaitu sikap yang pasti tidak memilih karena benar-benar sudah tahu tidak ada capres dan caleg yang berkualitas

Ad.c.Optimis

Yaitu sikap yang penuh keyakinan bahwa capres dan caleg yang ada pasti akan membawa bangsa dan negara ke arah Indonesia yang lebih buruk. Dan dengan tidak memilih mereka, besar kemungkinan akan merupakan shock therapy bagi parpol agar di kemudian hari menampilkan capres dan caleg yang berkualitas. Dan optimis, pemilu mendatang pasti ada capres/caleg yang berkualitas.

 Ad.3.Golput lain-lain

Yaitu sikap golput karena alasan lain-lain:

-Karena sakit di rumah
-Karena lupa
-Karena ada musibah di rumah
-Karena kecelakaan lalu lintas
-Karena TPS-nya sangat jauh
-Karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan datang ke TPS
-Karena tidak memenuhi syarat administratif sebagai pemilih
-Karena adat istiadat dan tradisi (suku Badui Dalam)
-Karena diintimidasi
-Karena ada teror
-Karena lupa
-Karena datang terlambat ke TPS
-Karena mementingkan mencari uang yang hasilnya hanya cukup untuk dimakan sehari
-Karena pihak panitia tidak tahu pemilih harus memilih di mana
-Karena tidak terdaftar di DPT dan semacamnya
-Karena E-KTP atau semacamnya sedang hilang
-Karena secara fisikologis dan psikologis tidak memungkinkan datang ke TPS
-Karena diberi uang untuk tidak memilih
-Karena ikut-ikutan golput tanpa alasan yang jelas
-Karena tidak tahu kriteria capres dan caleg yang berkualitas
-Karena tidak tahu mana capres dan caleg yang berkualitas dan mana yang tidak berkualitas
-Karena tidak memiliki informasi tentang kualitas, integritas, kompetensi, prestasi, track record, kepribadian, visi dan misi serta program kerja capres dan caleg.
-Karena trauma. Berkali-kali memilih capres/caleg, ternyata semuanya pembohong, korupsi dan tidak bermoral.
-Karena sengaja golput tanpa punya alasan apa-apa.
-Karena malas memilih.
-Karena memilih tidak memilih tidak dapat uang, lebih baik tidak memilih.
-Dan masih ada ratusan atau ribuan alasan golput lainnya.

Golput Lain-lain tidak bisa dikelompokka dalam ketegori Golput Koplak maupun Golput Cerdas

 

Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku
Sejak 1973

POLITIK: Mereka Tidak Layak Nyapres

FACEBOOK-PolitikMerekaTidakLayakNyapres

DEMOKRASI? Katanya, demokrasi yang baik adalah demokrasi langsung, yaitu capres/caleg dipilih langsung oleh rakyat. Masalahnya adalah, demokrasi langsung tidak didukung kualitas capres/caleg dan kualitas pemilih. Bahkan boleh dikatakan 50% pemilih hanya lulusan SD atau SD tidak tamat. Boleh jadi, 70% yang datang ke TPS adalah orang-orang yang tidak faham, belum paham atau bahkan sok paham politik. Apalagi, sistem politik Indonesia juga masih abal-abal sehingga juga boleh dikatakan hanya menghasilkan capres/caleg abal-abal juga. Selama ini parpol gagal menyeleksi capres/calegnya sehingga dari sudut psikologi-politik yang muncul hanya capres/caleg yang tergolong “haram” untuk dipilih.

Sistem demokrasi yang abal-abal

Belum mendukung karena 50% pemilih hanya berpendidikan SD atau tidak lulus SD. Bahkan 70% pemilih yang datang ke TPS tergolong pemilih yang belum paham/tidak paham/sok paham politik.

Capres dan caleg yang abal-abal

Parpol telah gagal memunculkan capres/caleg yang berkualitas karena proses seleksinya memang tidak berdasarkan kualitas.

Sistem politik yang abal-abal

Sistem politik yang serba uang dan mahal membuat para poitisi yang terpilih cenderung menjadi koruptor, calo proyek, penggarong uang APBN dan memanipulasi uang rakyat.

Tak layak nyapres dan capres yang tidak layak

Dari sudut psikologi-politik, mereka tidak layak nyapres dan capres yang tidak layak

Minimal ada 16 nama politisi yang tak layak nyapres atau capres yang tak layak.

Yaitu: (1).Prabowo Subianto,(2).Rhoma Irama, (3).ARB,(4).Megawati, (5).Pramono Edhie Wibowo, (6).Wiranto,(7). Dahlan Iskan, (8).Jusuf Kalla,(9).Hatta Radjasa,(10).Hidayat Nur Wahid,(11).Yusril Ihza Mahendra(12).Gita Wirjawan(13).Marzuki Alie,(14).Suryadharma Ali,(15).Ahmad Heryawan(16). Sri  Mulyani Indrawati

Analisa singkat psikologi-politik

Ad.(1).Prabowo Subianto

Terlepas terlibat atau tidak, kasus-kasus penculikan mahasiswa dan pelanggaram HAM di masa lalu membuat sebagian bangsa Indonesia “curiga”, “kurang percaya” terhadap niat baik Prabowo untuk jadi capres. Ada hubungannya atau tidak, masyarakat akan berkata, mengelola perusahaan pribadinya saja rugi Rp 14,3 triliun, apalagi kalau mengelola APBN yang merupakan uang rakyat. Apalagi mengelola bangsa dan negara.

Ad.(2).Rhoma Irama

Ada logika yang salah. Seolah-olah kalau Rhoma Itama sebagai penyanyi dangdut sangat banyak penggemarnya, otomatis para penggemarnya akan memilihnya. Sebuah logika yang salah karena tidak ada hubungannya yang relevan. Masyarakat menilai Rhoma Irama sebagai Raja Dangdut, tapi tidak mencerminkan karakter seorang negarawan. Sosok da’I dan penyanyi dangdut lebih melekat di ingatan masyarakat. Penampilan seorang negarawan tidak dimilikinya.

Ad.(3).ARB

Masyarakat luas masih ingat trauma kasus  lumpur Lapindo. Daktor ini mengurangi rasa simpati masyarakat ke ARB. Apalagi ARB memiliki perusahaan-perusahaan yang konon terlilit utang hingga puluhan triliun rupiah. Kalau mengelola perusahaan saja bangkrut, apalagi mengelola bangsa dan negara serta uang rakyat yang ada di APBN.

Ad.(4).Megawati

Megawati memang kharismatik. Maklum, ayahnya seorang presiden dan negarawan yang hemat. Tapi, Megawati jadi presiden karena faktor “kecelakaan politik”, yaitu menggantikan Gus Dur yang saat itu dilengserkan. Selama menjadi presidenpun belum ada prestasinya yang signifikan. Bahkan kekayaan gas di Blok Tangguh ,Papua, dijual ke China dengan harga yang jauh di bawah pasaran. Hal ini membawa kesan Megawati gampang dibohongi orang-orang di sekitarnya. Walaupun katanya pro “wong cilik”, namun tidak ada konsep yang jelas soal itu. Belum ada andil yang signifikan terhadap bangsa dan negara.

Ad.(5).Pramono Edhie Wibowo

Namanya saja baru muncul. Banyak yang tidak kenal. Kebetulan saja dia adik iparnya SBY. Maka orangpun akan mengambil kesimpulan, PEW nyapres hanya dengan tujuan melindungi kepentingan-kepentingan keluarga Cikeas jika ia terpilih sebagai presiden. Tidak ada gagasan tentang kepentingan bangsa dan negara dalam arti yang sesungguhnya.

Ad.(6).Wiranto

Masih kuat kesan pelanggaran HAM di “era” Wiranto. Walaupun tidak ada bukti-bukti hukum Wiranto terlibat pelanggaran HAM, terutama kasus Mei, namun masyarakat tetap punya rasa curiga yang besar terhadap Wiranto. Sosok yang berkali-kali gagal nyapres. Suaranya sedikit. Bukti tak dapat dukungan dari bangsa dan negara.

Ad.(7). Dahlan Iskan

Pribadi “urak’an”. Marah-marah di jalan tol. Menghentikan mobil listrik dengan cara menabrak tebing. Mengelola BUMN PLN hingga merugi Rp 37 triliun. Tidak ada prestasi di bidang kelistrikan yang patut dibanggakan. Apalagi, prestasinya di bidang BUMN juga tidak signifikan. Boleh dikatakan kurang merakyat.

Ad.(8).Jusuf Kalla

Memang pernah jadi wakil presiden. Tapi tampaknya kurang faham administrasi negara sehingga pernah mengeluarkan SK Wapres, sebuah kesalahan politik yang menggelikan. Gagasan gas Elpiji 3 kg juga telah menelan banyak korban di kalangan masyarakat miskin. Terlalu cepat mengambil keputusan sehingga berpotensi ada resiko melakukan kesalahan. Ucapannya yang pro mobil murah mencerminkan JK hanya memikirkan kepentingan bisnis, tidak demi kepentingan bangsa dan negara.

Ad.(9).Hatta Radjasa

Sarjana teknik yang jadi menko perekonomian. Tidak ada kompetensi. Tak ada kemajuan yang berarti di bidang perekonomian. Tak ada usaha untuk menghemat keuangan APBN. Tak ada usaha untuk mengurangi utang luar negeri. Tak ada usaha untuk mengurangi berbagai impor. Tak ada usaha untuk memprioritaskan pembangunan infra struktur. Kurang merakyat. Kurang terkenal. Prestasinya tidak jelas.

Ad.(10).Hidayat Nur Wahid

Apa kelebihannya?Tidak ada yang tahu. Bahkan ketika terjadi kasus korupsi/suap impor sapi, langsung menuding ada konspirasi politik Zionisme, tanpa bisa membuktikan kebenaran ucapannya. Tentunya bukan seorang negarawan kalau bicara tidak didukung pembuktian. Hanya bisa menuduh. Tidak layak menjadi capres.

Ad.(11).Yusril Ihza Mahendra

Soal hukum, YIM memang tergolong pakar. Soal tampang, mungkin cukup gantenglah.  Prestasi juga lumayan. Cuma bagaimana pandangan politiknya? Sayang, PBB (Partai Bulan Bintang) pimpinannya kabarnya punya misi anti Pancasila dan ingin mengganti Pancasila (bisa dicari di internet). Tentu, sikap anti-Pancasila bukanlah sikap seorang negarawan.

Ad.(12).Gita Wirjawan

Sosok yang tampan. Ingin mengulangi kesuksesan SBY yang juga jual tapang pada Pemilu 2004? Prestasinya sebagai menter perdagangan belum ada yang signifikan. Terkesan America-oriented. Terkesan kurang nasionalis. Lebih cocok jadi pengusaha daripada sebagai politisi. Orangpun boleh curiga, dia nyapres karena ada kepentingan bisnis. Kurang merakyat. Pemahamannya tentang bangsa dan negara diragukan.

Ad.(13).Marzuki Alie

Pribadi yang banyak cakap. Sering tanggapannya kurang merakyat. Nada bicaranya sinis. Dari partai penguasa. Kurang objektif melihat masalah. Figurnya sebagai capres kurang meyakinkan. Pernah tersangkut kasus pidana yang entah kenapa kemudian dihentikan. Kejujurannya masih diragukan oleh banyak orang. Bahkan kemampuannya untuk mengelola bangsa dan negara kurang meyakinkan.

Ad.(14).Suryadharma Ali

Pribadi opportunities. Bagi partainya, siapapun yang jadi presiden, tidak masalah. Yang penting kadr partainya dapat jatah sebagai menteri. Artinya, warna politiknya hanya mencari kesempatan yang menguntungkan pribadi-pribadi orang-orang politiknya. Selalu mengatakan setuju terhadap semua kebijakan rezim yang sedang berkuasa. Sikapnya yang pro rakyat tidak kelihatan.

Ad.(15).Ahmad Heryawan

Terpilih sebagai Gubernur Jabar dari PKS, Partai Keadilan Sejahtera. Lemenangannya sebagai gubernur diragukan banyak pihak. Ada dugaan tersangkut kasus di Bank Jabar Banten  dan kasus-kasus lain. Kurang merakyat. Tidak ada prestasi yang menonjol.

Ad.(16). Sri  Mulyani Indrawati

Memang pandai di bidangnya, tapi tidak ada bukti pandai di bidang politik apalagi politik kenegaraan. Namanya berkonotasi negatif dengan adanya kasus Bank Century, terlepas terlibat atau tidak, terlibat bersalah atau tidak. Tak punya karir politik, apalagi yang menonjol. Kurang bergaul dengan masyarakat luas.

Kesimpulan

Mereka yang tercatat dia atas No.1 sampai dengan No.16 mempunyai persamaan, yaitu tidak layak sebagai “capres”, karena mereka bukan “negarawan”.

Baca:

“Syarat Mutlak Menjadi Presiden Yaitu Harus Seorang Negarawan”
https://partaigolput.wordpress.com/2014/02/08/politik-apa-sih-negarawan-itu-syarat-mutlak-menjadi-presiden-yaitu-harus-seorang-negarawan/

Sumber  foto: Dari berbagai sumber

Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku
Sejak 1973

POLITIK: 70 % Yang Datang Ke TPS Adalah Pemilih Yang Sok Faham Politik

POLITIK-70PersenYgDatangKeTPSAdalahPemilihYgSokFahamPolitik

SIKAP SNOB atau sok memang dimiliki sekitar 70% warga dunia. Ada sok tahu, sok mengerti sok faham dan lain-lain. Itu merupakan gejala umum. Menurut hasil survei, orang cerdas di dunia ini jumlahnya hanya ada 0,001% atau dari 1.000 orang hanya ada satu orang yang cerdas. Apalagi, 50% jumlah pemilih dalam pemilu atau pemilukada adalah rakyat yang berpendidikan lulusan SD atau SD tidak tamat. Pastilah, pemahaman mereka tentang politik sangat minim sekali. Bahkan, mereka yang lulusan SMA, bergelar S1, S2, S3 juga banyak yang awa politik. Mereka datang ke TPS membawa alasan masing-masing dan ternyata alasan mereka mencerminkan ketidakfahaman mereka tentang politik.

Bagaimana komentar mereka yang datang ke TPS?

Di bawah adalah hasil survei penulis sejak pemilu 2004 hingga pemilu 2009. Kelihatannya alasan mereka benar dan masuk akal, padahal dari alasan itu mencerminkan bahwa mereka sebenarnya masih awam politik atau bodoh di bidang politik.

A.Pertanyaan:

“Kenapa Anda datang ke TPS dan memilih?”

Jawaban mereka:

1.”Yah. Daripada nganggur di rumah, kan nggak ada salahnya datang ke TPS untuk memilih”

Komentar:

Dia pemilih yang tidak punya motivasi yang benar

2.”Wah, kalau saya nggak memilih, nanti kita nggak punya wakil rakyat, dong?”

Komentar:

Dia pemilih yang tidak rasional karena tidak ada negara yang angka golputnya 100%

3.”Memilih, sih. Soal mereka nanti korupsi, itu urusan dia sama Tuhan”.

Komentar:

Dia termasuk pemilih yang cara berpikirnya spekulatif (untung-untungan)

4.”Nggak enak aja. Wong tetangga-tetangga saya juga memilih, masak saya tidak memilih?”

Komentar:

Dia termasuk pemilih yang tidak punya pendirian

5.”Lho, kan nggak ada ruginya bagi saya untuk memilih mereka.

Komentar:

Dia termasuk pemilih yang sesungguhnya tidak menggunakan pertimbangan politik

6.”Soalnya yang jadi caleg cowok gue, sih. Ya,pastilah saya pilih”

Komentar:

Dia pemilih yang berdasarkan emosi daripada rasio

7.”Selama ini artis yang akan saya pilih kan bersih. Tidak pernah ada kasus korupsinya”

Komentar:

Dia pemilih yang melihat pilihannya hanya dari sudut penampilannya saja (hanya kulit-kulitnya saja)

8.”Ya, sebagai warganegara yang baik, pastilah saya akan memilih”

Komentar:

Dia pemilih yang tidak tahu kriteria warganegara vyang baik, yaitu warganegara yang mematuhi peraturan perundang-undangan.

9.” Memilih itu kan wajib. Ya, saya harus patuh pada kewajiban saya, dong”

Komentar:

Dia pemilih yang tidak tahu bahwa memilih adalah hak, bukan kewajiban

10.”Demi kepentingan bangsa dan negara, saya memilih”

Komentar:

Dia pemilih yang sik nasionalis

11.”Saya memilih karena saya percaya mereka akan memperjuangkan aspirasi rakyat”

Komentar:

Dia pemilih yang apriori, hanya bermodalkan prasamngka baik saja, padahal belum tentu hasilnya baik

12.”Saya akan memilih berdasarkan hati nurani. Tidak mungkin salah”

Komentar:

Dia pemilih yang tidak faham psikologi. Tidak tahu kalau hati nurani itu bisa salah.

13.”Sebelum memilih, saya sudah shalat meminta petunjuk dari Tuhan, kok”

Komentar:

Dia pemilih yang sok dekat dengan Tuhan.

14.”Memilih adalah hak saya. Buat apa orang lain ribut-ribut?”

Komentar:

Dia pemilih egoistis. Tidak mau mendengarkan pendapat orang lain yang benar.

15.”Kalau menginginkan perubahan, ya kita harus memilih”

Komentar:

Dia tidak tahu apakah memilih pasti akan merubah keadaan. Berubah ke arah yang lebih baik atau lebih

buruk?

16.”Saya yakin, pilihan saya tidak salah”

Komentar:

Dia pemilih yang tidak tahu bahwa keyakinanpun bisa salah.

17.”Kalau saya lihat sih, iklan-iklan politiknya bagus-bagus”

Komentar:

18.”Yang penting saya memilih. Soal salah pilih, itu soal nanti”

Komentar:

Dia pemilih yang berkepribadian masa bodoh.

19.”Memilih berarti ikut memperbaki kondisi bangsa dan negara”

Komentar:

20.”Ooo, memilih itu lebih baik daripada tidak memilih”

Komentar:

21.”Memilih ada harapan. Kalau tidak memilih kan tidak ada harapan”

Komentar:

Dia pemilih yang penuh harapan, angan-angan yang penuh ketidak pastian.

22.”Kayaknya tampilan mereka meyakinkan,deh. Jadi, saya pasti memilihnya”

Komentar:

Dia pemilih yang silau hanya penampakan seseorang saja. Sok positive thinking.

23.”Memang saya tidak kenal, tapi saya suka penampilannya deh”

Komentar:

Dia pemilih yang terpukau oleh figurnya saja

24.”Saya sudah terima uang. Gak enak kalau saya tidak memilih”

Komentar:

Dia pemilih yang merasa berhutang budi karena sudah diberi uang

25.”Saya pilih dia karena dia janji akan memperbaiki jalan di komplek perumahan saya.

Komentar:

Dia termasuk pemilih yang mudah dikadalin atau dibohongi orang lain, apalagi tidak ada perjanjian tertulis di atas meterai.

Dan masih banyak lagi alasan-alasan mereka yang datang ke TPS untuk memilih. Hawab-jawaban mereka mencerminkan ketidakfahaman mereka tentang dunia politik yang sesungguhnya yang sekarang terjadi di Indonesia.

B.Pertanyaan sekitar “kualitas” capres atau caleg

Namun, apa jawaban mereka jika pertanyaannya berbobot politik dalam arti yang sesungguhnya?

“Apa kriteria capres/caleg yang berkualitas?”

“Apakah Anda sudah mengetahui track recordnya?”

“Apakah Anda yakin benar-benar capres/caleg yang Anda pilih benar-benar berperilaku baik?”

“Apakah Anda tahu prestasi mereka sebelumnya?”

“Apakah Anda tahu bahwa mereka benar-benar mempunyai kompetensi untuk menjadi capres/caleg?

Ternyata, jawaban mereka mencerminkan ketidakfahaman mereka tentang politik.

-Tidak tahu kriteria capres/caleg berkualitas

-Tidak tahu apa itu track record atau rekam jejak

-Tidak tahu apakah yang akan dipilihnya berkepribadian baik atau tidak

-Tidak tahu prestasi yang dimiliki para capres/caleg sebelum mencalonkan diri

-Tidak tahu apakah capres/capeg mempunyai kompetensi atau tidak

Kesimpulan umum:

1.70% pemilih tidak faham politik (hanya sok faham politik saja)

2.Memilih hanya berdasarkan “Ilmu Kira-Kira”

3.Memilih berdasarkan pertimbangan subjektif.

4.Kalau mereka salah pilih, tidak mau mengakui kesalahannya

5.Alasan-alasan mereka merupakan kesalahan berlogika (cara berpikir)

Kesimpulan khusus:
Pemilih yang tidak berkualitas, akan menghasilkan presiden dan wakil rakyat yang tidak berkualitas juga. Kecuali, parpol menyiapkan capres dan calegnya yang benar-benar berkualitas melalui seleksi yang ketat tanpa memungut biaya satu senpun.

Konsekuensinya:

-Mereka bisa salah pilih

-Yang mereka pilih ternyata bermasalah (korupsi, kolusi, nepotisme,gratifikasi, suap,sogok,pungli dan semacamnya).

Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku
Sejak 1973

POLITIK: Sistem Politik Indonesia Masih Berbau Tahi Kucing

FACEBOOK-PolitikSistemPolitikIndonesiaMasihBerbauTahiKucing

KENAPA negara dan bangsa Indonesia menjadi terpuruk seperti sekarang? Korupsi, kolusi, nepotisme, pungli, suap, sogok, gratifikasi, kekayaan alam dijual murah dan dikuasai kapitalisme asing, terjadinya bencana hukum, bencana ekonomi, bencana APBN/APBD, bencana perbankan dan berbagai bencana merajalela di Indonesia. Juga, adanya pembiaran-pembiaran aliran anarkisme, anti-Pancasila, mafia di segala bidang dan berbagai keterpurukan di hampir semua sektor sangat mudah kita ketahui bersama. Kalau kita mau jujur, semua akibat sistem politik Indonesia yang masih berbau tahi kucing.

Sistem politik Indonesia masih berbau tahi kucing

Antara lain ditandai oleh beberapa hal.

1.Syarat mendirikan parpol terlalu mudah

2.Syarat menjadi capres terlalu mudah

3.Syarat menjadi caleg terlalu mudah

4.Syarat menjadi pemimpin daerah terlalu mudah

5.Sistem koalisi yang abal-abal

6.Sistem pemilu yang tidak profesional

7.Produk undang-undang yang tidak pro rakyat

8.Penegakan hukum bagi koruptor yang terlalu ringan

9.Sanksi terhadap anggota DPR yang tidak disiplin tidak tegas

10.Sistem demokrasi yang serba uang

Ad.1.Syarat mendirikan parpol terlalu mudah

Syarat mendirikan parpol terlalu mudah. Tidak punya modalpun boleh mendirikan partai. Yang penting berbentuk partai politik dan ada pengurusnya, ada logonya, ada AD/ART-nya dan syarat-syarat administrasi ringan lainnya. Ideologinya boleh apa saja asal tidak bertentangan dengan Pancasila. Karena terlalu mudah, maka berdirilah parpol-parpol yang tidak bonafid. Parpol abal-abal. Parpo kere.

Untuk membayar saksi pemilu saja tidak sanggup dan mengemis ke pemerintah supaya saksi pemilu mereka dibayar memakaian uang APBN yang merupakan uang rakyat. Seolah-olah mereka pro rakyat. Padahal kenyataannya, parpol-parpo di Indonesia kelakuannya sama. Parpol Pancasila, kek. Parpol Islam-kek. Parpol Kafir,kek. Smuanya ingin menang, ingin berkuasa, ingin mendapatkan proyek besar, ingin memperkaya diri sendiri dan ingin melanggengkan kekuasaan dengan segala cara, termasuk cara curang.

Seharusnya:

Syarat mendirikan parpol dipersulit. Antara lain harus mempunyai modal uang yang cukup. Punya bank guarantee. Sanggup membiayai sendiri semua saksi pemilu. Punya kantor di semua provinsi. Punya pengurus yang bersih (tidak terlibat tindak pidana maupun perdata) dan syarat-syarat lain yang sulit.

Ad.2.Syarat menjadi capres terlalu mudah

Syarat menjadi caprespun terlalu mudah. Sebagian besar hanya menitikberatkan syarat-syarat administrasi dan kesehatan. Yang penting ada kemauan dan punya uang. Ada dukungan dari parpol. Apalagi punya uang banyak, boleh jadi capres. Tidak ada syarat-syarat yang mendukung kualitas capres. Capres yang bodoh, mudah dikadalin para menterinya.

Seharusnya:

Seharusnya semua capres mengikuti berbagai tes kualitas. Mulai dari tes IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotipnality Quotient), SQ (Spiritual Quotient), LQ (Leadership Quotient), AQ (Aptitude Quotient), HQ (Healthy Quotient), MQ (Morality Quotient), pro Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan mempunyai sifat-sifat negarawan, minimal berpendidikan S1 atau S2 atau S3, tidak merangkap sebagai pengurus parpol dan syarat-syarat lain yang menitikberatkan kualitas capres.

Ad.3.Syarat menjadi caleg terlalu mudah

Menjadi calegpun terlalu mudah. Tukang tambal ban boleh, mantan pelacur boleh, pokoknya siapa saja boleh. Apalagi kalau berani bayar mahal, bisa dipertimbangkan pasti jadi caleg. Tidak ada tes IQ.  Orang goblokpun boleh jadi caleg. Orang tidak memahami ilmu hukum, ilmu ekonomi dan ilmu-imu lainpun boleh. Tanpa syarat ketat, akan melahirkan wakil-wakil rakyat yang korup. Jadi maling uangnya rakyat.

Seharusnya:

Sama dengan syarat untuk menjadi capres. Seharusnya semua caleg mengikuti berbagai tes kualitas. Mulai dari tes IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotipnality Quotient), SQ (Spiritual Quotient), LQ (Leadership Quotient), AQ (Aptitude Quotient), HQ (Healthy Quotient), MQ (Morality Quotient), pro Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan mempunyai sifat-sifat negarawan, minimal berpendidikan S1 atau S2 atau S3.

Ad.4.Syarat menjadi pemimpin daerah terlalu mudah

Terlalu mudah juga. Asal punya uang, baik uang sendiri maupun uang hasul utang, boleh jadi pemimpin daerah. Orang cengengpun boleh jadi calon pemimpin daerah. Yang penting dapat dukungan parpol. Soal dukungan rakyat bisa dengan cara money politic. Tidak punya jiwa negarawan juga boleh. Bukan kader p0arpolpun boleh. Artis juga boleh. Sistem yang lemah akan melahirkan capimda yang korup dan semena-mena.

Seharusnya:

Sama dengan syarat menjadi capres. Seharusnya semua capimda (calon pemimpin daerah : walikota, bupati, gubernur) mengikuti berbagai tes kualitas. Mulai dari tes IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotipnality Quotient), SQ (Spiritual Quotient), LQ (Leadership Quotient), AQ (Aptitude Quotient), HQ (Healthy Quotient), MQ (Morality Quotient), pro Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan mempunyai sifat-sifat negarawan, minimal berpendidikan S1 atau S2 atau S3.

Ad.5.Sistem koalisi yang abal-abal

Sistem koalisi juga belum profesional. Masih koalisi “sak karepe dewe”. Koalisi berdasarkan pertimbangan balas budi. Koalisi berdasarkan “politik dagang sapi”. Koalisi yang lebih mementingkan kepentingan parpo daripada kepentingan rakyat. Koalisi yang ingin menguasai DPR sehingga menjadi kekuatan tunggal yang otoriter. Koalisi lebih dari 50% akan menghasilkan undang-undang yang tidak pro rakyat melainkan pro kapiralis asing atau negara asing.

Seharusnya:

Seharusnya, koalisi parpol dibatasi maksimal 50%, sehingga ada keseimbangan kekuatan di DPR. Yaitu, 50% pro pemerintah dan 50% sebagai “partai oposisi”. Dengan demikian fungsi DPR sebagai lembaga kontrol eksekutif bisa berjalan secara efektif. Tidak menjadi DPR yang “yes man” atau “tukang stempel”-nya pemerintah.

Ad.6.Sistem pemilu yang tidak profesional

Sistem pemilu sekarang ini tidak profesional. Mengurus DPT (Daftar Pemilih Tetap) saja amburadul, kacauu balau atau karut marut. Itu berarti manajemen data kependudukan juga kacau balau. Sistem pemberian NIK juga tidak profesional. Manajemen E-KTP juga amburadul. Update E-KTP saja butuh waktu berbulan-bulan bahkan bisa bertahun-tahun. DPT kacau pastilah membuka peluang pemilu yang kacau dan curang. Sistem institusi pemilu juga mudah disusupi oknum-oknum yang gampang disuap dan disogok. Masih dimungkinkan adanya manipulasi data suara. Tidak ada transparansi dalam pemilu. Hasil pemilu tidak bisa diaudit. Penguasapun bisa menyusupkan orang-orangnya di semua institusi pemilu dari pusat hingga daerah, juga di MK (Mahkamah Konstitusi) dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Bahkan TNI/Polri?birokrasipun bisa dikendalikan oleh penguasa. Pemilu juga sangat rawan korupsi.

Seharusnya:

Seharusnya sistem pemilu offline diganti dengan sistem pemilu online. Harus didukung para pakar TI (Teknologi Informasi) yang profesional. Semua pemilih menggunakan E-KTP. NIK (Nomor Induk Kependudukan)  harus diubah menjadi NUK (Nomor Urut Kependudukan) sebab sistem NIK bisa mengacaukan sistem pendataan dan update data penduduk. Juga bisa mengacaukan penyusunan DPT. Pemilu maupun pemilukada sangat hemat, bisa menghemat uang rakyat hingga ratusan triliun. Bisa meminimalkan praktek-praktek korupsi. Ttransparan. Hasil pemilu bisa dikontrol masyarakat secara online. Memperkecil kecurangan karena rakyat bisa mencocokkan hasil pemilu di TPS-nya dengan hasil online. Hasil pemilu harus diumumkan per-TPS, kemudian per-kelurahan, per-kecamatan,per kabupaten/lota,per-provinsi dan terakhir secara nasional.

Ad.7.Produk undang-undang yang tidak pro rakyat

Karena selama ini terlalu mudah menjadi caleg, maka hasilnya adalah wakil-wakil rakyat yang koplak, bodoh, atau pandai tapi tidak bermoral. Tidak amanah. Tidak pro rakyat. Sehingga undang-undang yang dibuatnya juga lebih menguntungkan kepentingan parpolnya atau koalisi parpolnya. Undang-undang KPK-pun mulai dipreteli, kewenangan KPK-pun dikurangi dan undang-undang yang bersifat menguntungkan mereka daripada kepentingan bangsa dan negara. Bahkan banyak undang-undang demi kepentingan kapitalis asing atau negara asing.

Seharusnya:

Seharusnya pembuatan undang-undang harus melibatkan berbagai pakar hukum se-Indonesia, para ulama semua agama se-Indonesia, juga melibatkan buruh, karyawan dan semua yang berhubungan dengan RUU yang sedang disusun. Undang-undang harus lebih bersifat menguntungkan bangsa dan negara. Harus lebih pro rakyat, terutama rakyat miskin. Harus memprioritaskan nasionalisasi kekayaan alam. Harus menekankan kedaulatan rakyat,kedaulatan hukum, kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik tanpa campur tangan atau didikte negara sing, baik Amerika dan sekutunya maupun Negeri Onta dan sekutunya. APBN harus diefisienkan. Utang pemerintah harus diperkecil secara bertahap hingga nol. Dan undang-undaang lain yang menguntungkan bangsa dan negara.

Ad.8.Penegakan hukum bagi koruptor yang terlalu ringan

Hukuman bagi koruptor terlalu ringan. Hukum  dan para penegak hukum terkesan sangat bisa dibeli. Koruptor bisa menikmati hidup yang nyaman di LP (Lembaga Pemasyarakatan). Siang tidur di LP, malam tidir di rumah, hotel atau rumah kontrakan yang lokasinya dekat dengan LP. Hukuman bisa dikurangkan. Remisi bisa dibeli. Bahkan grasipun bisa dibeli. Bebas bersyarat juga bisa diteebus pakai uang.

Seharusnya:

Seharusnya kita punya presiden yang memahami hkum. Jujur, bersih, berani dan tegas. Hukuman bagi koruptor harus diperberat. Jika perlu hukuman mati. Untuk itu undang-undang yang berhubungan dengan korupsi, harus ditingkatkan kualitasnya. Harus ada undang-undang tentang pembuktian terbalik, undang-undang pemiskinan koruptor, hukuman minimal harus ditingkatkan, misalnya minimal 10 tahun. Seharusnya para koruptor tidak perlu mendapatkan remisi ataupun keringanan hukuman. Walaupun hukuman mati tidak efektif, tetapi  perlu dilakukan.

Ad.9.Sanksi terhadap anggota DPR yang tidak disiplin tidak tegas

Selama ini ruang sidang di DPR sering kosong. Bisa terjadi karena tata tertibnya terlalu biasa. Tidak ada sanksi yang tegas bagi anggota DPR yang membolos, tidak disiplin, tidur saat sidang dan lain-lain. Walaupun ada sistem daftar hadir menggunakan sistem sidik jari, tapi tetap mubazir karena tidak ada sanksi yang tegas.

Seharusnya:

Seharusnya, anggota DPR yang tidak hadir dalam sidang tiga kali berturut-turut atau tidak berturut-turut harus dikenakan sanksi yang tegas, misalnya tidak berhak menerima tunjangan apapun selama tahun tersebut. Jika kemudian tiga kali lagi tidak hadir, harus dikenakan sanksi dikeluarkan dari keanggotaannya di DPR.

Ad.10.Sistem demokrasi yang serba uang

Semua orang tahu. Sistem politik di Indonesia serba uang. Demokrasi “Wani Piro”.Bahkan sistem birokrasi kita juga serba uang. Semua serba uang. Ingin jadi caleg/cawali/cabup/cagub/capres harus ada uang. Untuk mendirikan parpol harus ada uang. Hasilnya adalah parpol korup, caleg korup, cawali korup, cabup korup, cagub korup, capres korup apabila mereka menang dan terpilih.

Seharusnya:
Perlu adanya sistem penyeleksian, tes dan pemilihan secara online yang didukung Bank Soal dan Sistem Acak. Semuanya secaraa online. Didukung E-KTP dan sistem sidik jari yang tidak mungkin bisa dipalsukan. Sebuah sistem yang hemat, jujur, akurat dan hasilnya bisa segera dilihat.

Kesimpulan:

-Selama sistem politik Indonesia masih bau tahi kucing, selama itu juga Indonesia tetap penuh diwarnai praktek-praktek korupsi, kolusi, nepotisme, suap, sogok, gratifikasi, hilangnya kedaulatan ekonomi, kedaulatan hukum, kedaulatan politik, kedaulatan sumber daya alam, kedaulatan perbankan dan berbagai kedaulatan lainnya. Karena sistem politiknya masih bau tahi kucing, maka pemilu maupun pemilukada lebih banyak menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang berbau tahi kucing juga.

-Selama sistem politik Indonesia masih berbau tahi kucing, maka solusi terbaik yaitu: Golput.

Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku
Sejak 1973

POLITIK: Golput Tidak Haram Salah Pilih Haram

POLITIK-GolputTidakHaram

MENJELANG Pemilu 2009, keluarlah fatwa haram golput. Padahal, negara-negara lainnya, terutama negara-negara Islam tidak ada yang mengeluarkan fatwa haram golput. Artinya, fatwanya hanya tidak bersifat universal-internasional. Hanya untuk Indonesia saja. Fatwa yang meragukan, apalagi dikeluarkan menjelang pemilu. Masyarakat pantas curiga di balik fatwa tersebut pastilah ada nuansa politiknya. Fatwa tersebut kelihatannya baik tetapi tidak mendidik dan tidak mencerdaskan.

Memilih adalah hak dan bukan kewajiban

Banyak politisi atau pihak-pihak nonpolitik yang cara bicaranya membodoh-bodohkan rakyat, seolah-olah memilih itu wajib. Seolah-olah pertisipasi itu wajib. Seolah-olah golput itu tidak baik. Seolah-olah golput itu dosa besar dan layak masuk neraka.

Fatwa yang tidak cerdas

Kalau tujuannya untuk mengurangi angka golput, tidaklah dengan cara mengeluarkan fatwa golput. Melainkan mendesak DPR agar merevisi UU Pemilu yang antara lain memuat pasal bahwa memilih bukan lagi hak, melainkan kewajiban. Sanksinya, yang tidak datang ke TPS akan dikenakan denda (seperti yang berlaku di Australia).

Golput tidak sama dengan daging babi

Daging babi pastilah haram dan dosa  bagi umat Islam. Sedangkan golput penyebabnya sangat banyak. Ada puluhan penyebab golput dan tidak bisa disamaratakan. Tidak bisa menggunakan Logika Hantam Kromo bahwa golput itu buruk. Banyak rakyat yang golput justru sengaja digolputkan atau karena manajemen pemilu yang amburadul sehingga ada jutaan bahkan puluhan juta rakyat yang tidak terdaftar di DPT dan sebab-sebab lainnya. Golput mana yang termasuk dosa dan masuk neraka? Enggaklah, golput itu pilihan dan karena keadaan.

Memilih yang benar

Memilih yang benar haruslah berdasarkan kecerdasan dan pemahaman politik yang benar. Memilih harus tahu kriteria dan ciri-ciri dari calon pemimpin dan calon wakil rakyat yang berkualitas. Harus tahu mana yang benar-benar yang berkualitas dan mana yang benar-benar tidak berkualitas.

Tidak faham politik

Sayang, sekitar 70% yang datang ke TPS adalah para pemilih yang awam politik. Apalagi, 50% dari mereka hanya berpendidikan/ lulusan SD atau tidak tamat SD. Lebih parah lagi, selama ini rakyat tidak pernah mendapatkan pendidikan dan pencerahan politik. Mereka memilih hanya berdasarkan hal-hal yang tidak rasional. Yang karena money politic-lah, tergiring hasil survei politiklah, termakan iklan-iklan di TV-lah, dan pengaruh-pengaruh lain yang tidak mencerdaskan.

Kalau golput 100% Indonesia tidak punya pemimpin

Ada cara berlogika yang keliru, seolah-olah kalau angka golputnya 100%, maka Indonesia tidak punya pemimpin dan wakil rakyat. Tidak realistis. Di dunia ini tidak ada negara yang angka golputnya 100%. Hanya berandai-andai saja. Tidak cerdas. Banyak rakyat golput antara lain karena tidak ada capres atau calon wakil rakyat yang benar-benar berkualitas dan benar-benar bisa dipercaya.

Korupsi dan kemaksiatan salah mereka yang tidak golput

Dengan demikian, terjadinya banyak korupsi dan kemaksiatan adalah salahnya yang tidak golput. Kalau kekayaan alam Indonesia dijual murah ke kapitalis asing, itu juga tanggung jawab mereka yang salah pilih. Demikian juga karut marut penegakan hukum juga akibat dan hasil pilihan dari mereka yang salah pilih. Dengan demikian, salah pilih bisa mengakibatkan berbagai bencana. Antara lain bencana korupsi, bencana kemaksiatan, bencana hukum, bencana APBN, bencana kekayaan alam, bencana energi, bencana sosial, nemcana perbankan dan berbagai bencana lainnya di berbagai sektor.

Salah pilih haram hukumnya

Justru, mereka yang salah pilihlah yang layak difatwakan haram hukumnya. Nasehat yang mengatakan “Pilihlah yang terbaik dari semua yang tidak baik” merupakan nasehat yang menyesatkan, sebab bisa jadi semua yang tidak baik itu calon koruptor semua. Alasan bahwa yang penting memilih sesuati hati nurani juga cara yang salah, sebab hati nurani juga bisa keliru. Begitu juga ada nasehat yang tidak benar yang mengatakan, pilih yang kira-kira tidak baik. Kalau ternyata tidak baik, itu bukan salah pemilih. Ini merupakan logika yang keliru karena memilih hanya berdasarkan Ilmu Kira-Kira. Salah pilih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Memilih berdasarkan Ilmu Kira-Kira adalah salah besar dan tidak cerdas serta berdosa.

Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku
Sejak 1973

POLITIK: Korupsi Tanggungjawab Mereka Yang Tidak Golput

FACEBOOK-PolitikKorupsiTanggungJawabMerekaYangTidakGolput

SELAMA ini golput selalu disalahkan dengan berbagai alasan. Padahal, orang menjadi golput karena berbagai alasan. Ada banyak alasan orang menjadi golput dan sebagian besar bukan karena salahnya warganegara yang golput. Padahal, mereka yang tidak golputpun seharusnya punya tanggung jawab, antara lain salah pilih. Ternyata,p emimpin dan atau wakil yang dipilihnya melakukan korupsi. Sebenarnya harus dipahami bahwa pemilu di Indonesia bersifat “hak”, bukan “kewajiban”. Artinya, memilih atau tidak memilih adalah hak setiap warga negara dan masing-masing banyak penyebabnya.

Pemilu adalah hak

Pemilu di Indonesia bersifat “hak”, bukan kewajiban. Artinya, memilih atau tidak memilih merupakan pilihan. Boleh memilih boleh juga tidak memilih. Memilih atau tidak memilih tidak melanggar undang-undang apapun juga. Tidak ada hubungannya dengan sebutan warganegara yang baik maupun warganegara yang tidak baik. Tidak ada hubungannya dengan boleh atau tidak boleh mengritik pemerintah.

Kewajiban warganegara

Kewajiban warganegara yaitu mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Termasuk menghargai dan menjalankan ideologi negara (Pancasila), konstitusi (UUD 1945), NKRI dan Bhineka Tunggal Ika serta taat memenuhi semua kewajibannya untuk membayar bermacam-macam pajak dan retribusi. Itulah yang disebut warganegara yang baik.

Golput maupun tidak golput berhak mengritik pemerintah

Mengriti adalah hak setiap warganegara dan ini dijamin UUD 1945 yang menyatakan dengan tegas bahwa berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dijamin undang-undang sejauh tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku

Penyebab korupsi

Penyebab korupsi antara lain 70% pemilih belum memahami politik dalam arti yang sebenarnya. Belum memahami track record itu apa. Belum tahu apa kriteria capim (calon pemimpin) dan caleg yang berkualitas. Belum tahu bagaimana cara memilih yang benar. Masih terpengaruh oleh hasil survei rekayasa, iklan yang mengobral janji sorga dan masih rawan money politic. Apalagi sekitar 50% pemilih berpendidikan lulusan SD atau SD tidak tamat. Artinya, 70% pemilih belum berkualitas. Bahkan yang berpendidikan S1, S2 dan S3 –pun masih banyak yang awam politik.

Memilih berdasarkan “Ilmu Kira-Kira”

Karena awam politik, maka 70% pemilih (bahkan mungkin lebih dari 70% pemilih) melakukan pilihan berdasarkan “Ilmu Kira-Kira”. Kalau ditanya mereka selalu berkata “Memilih berdasarkan hati nurani”. Padahal mereka memilih berdasarkan “Ilmu Kira-Kira”. Memilih berdasarkan hati nuranipun bisa salah karena hati nurani tiap orang berbeda-beda, buktinya pilihan mereka berbeda-beda.

Memilih secara tidak rasional

Di samping itu banyak juga yang memilih secara tidak rasional. Antara lain takut fatwa golput, karena diperintahkan gurunya terutama guru agamanya, terpengaruh brainwashing, menhikuti logika yang salah :” Pilihlah yang terbaik dari semuanya yang tidak baik”. Padalah logika yang benar :” Kalau semuanya tidak baik, ya jangan dipilih satupun juga”.

Asal pilih

Karena banyak pemilih yang tidak rasional dan memilih berdasarkan “Ilmu Kira-Kira”, maka yang terjadi adalah mereka “salah pilih”. Kalaui salah pilih mereka suka cari-cari alasan :” Selama ini saya mengira dia orang-baik-baik. Kalau ternyata tidak baik, ya saya tidak tahu”. Sebuah alasan yang bersifat membela diri dan tidak mau bertanggung jawab atas kesalahannya memilih.

Salah pilih, muncullah koruptor

Akibat salah pilih, maka yang terjadi adalah munculnya pemimpin dan caleg koruptor. Menjadi maling uang rakyat. Menggerogoti APBN. Menjadi pembohong dan pendusta rakyat. Jarang hadir di Gedung DPR. Mencari proyek. Memperkaya diri sendiri. Ingin berkuasa lagi. Tentu semuanya dengan segala cara, termasuk cara curang sekalipun. Boleh dikatakan 70% dari mereka adalah “bajingan-bajingan” politik.

Korupsi tanggung jawab mereka yang tidak golput

Maka wajar saja kalau warganegara yang tidak golputlah yang harus bertanggung jawab atas lahirnya “bajingan-bajingan politik” itu. Tidak perlu cari-cari alasan karena faktanya pilihan mereka salah. Faktanya mereka telah memunculkan koruptor-koruptor dan “bajingan-bajingan” politik. Mereka yang tidak golput dan salah pilih harus meminta maaf kepada rakyat karena akibat salah pilih itulah rakyat menjadi menderita. Korupsi merajalela. Sumber daya alam dijual murah. Banyak undang-undang yang pro kapitalis asing. Akibatnya rakyatlah yang menderita. Semua itu tanggung jawab warganegara yang tidak golput. Warganegara yang telah salah pilih.

Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku politik
Sejak 1973

POLITIK: Cara-Cara Jadul Mendiskreditkan Jokowi

FACEBOOK-PolitikCarCaraJadulMendiskreditkanJokowi

SEMAKIN dekat pemilu atau pilkada/pemilukada, biasanya atmosfir persaingan semakin panas. Berbagai upaya dilakukan para lawan politik, baik dengan cara-cara yang positif maupun negatif. Boleh dikatakan hal demikian terjadi di negara mana saja. Apalagi bagi Indonesia yang menganut sistem demokrasi dan multi partai. Salah satu tokoh yang “diduga” akan menjadi capres pada pemilu 2014 adalah Jokowi atau Joko Widodo yang pada saat sekarang (sampai Januari 2014) masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Semakin dekat pemilu, semakin banyak dan keras usaha-usaha untuk mendiskreditkan Jokowi. Padahal, sampai Januari 2014, belum ada kepastian apakah Jokowi akan menjadi capres atau tidak.

A.Berbagai cara untuk mendiskreditkan Jokowi

Hal ini juga bisa terjadi kepada siapapun yang aktif di bidang politik.

Antara lain:

1.Menuduh Jokowi ingkar janji

2.Menuduh Jokowi nonmuslim

3.Menuduh Jokowi musyrik

4.Menuduh Jokowi korupsi

5.Menuduh Jokowi dengan cara memperalat ayat suci Al Qur’an

Ad.1.Menuduh Jokowi ingkar janji

Tidak benar:

Namun tidak benar kalau dikatakan Jokowi berjanji berjanji akan menyelesaikan masalah banjir, sampah dan kemacetan lalu lintas dalam waktu singkat, apalagi masalah banjir. Tidak ada satupun bukti-bukti tertulis yang mengatakan bahwa Jokowi akan menyelesaiakn masalah banjir pada tahun 2013 atau 2014.

Benar:

Dalam kampanyenya, Jokowi memang berjanji akan berusaha akan mengatasi banjir, sampah dan kemacetan lalu lintas di Jakarta. Sebab, Jokowi menjadari bahwa ketiga masalah tersebut merupakan masalah yang mendesak harus segera dimulai untuk melakukan penanggulangannya. Tentu, rencana kerja Jokowi tidak hanya itu saja, tetapi juga banyak rencana-rencana lainnya.

Logika:

Banyak orang tidak bisa membedakan kata-kata “janji” dengan “gagasan”. Sebenarnya apa yang diucapkan Jokowi lebih banyak bersifat gagasan. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran kongkrit tentang apa yang akan dilakukan (tetapi belum tentu dlakukan). Janji adalah sesuatu yang kongkrit, misalnya Jokowi berjanji akan mengatasi banjir dan menjanjikan Jakarta tidak akan dianda banjir selambat-lambatnya pada tahun 2014. Jadi, gagasan sifatnya umum seangkan janji sifatnya spesifik. Yang terjadi, lawan-lawan politik Jokowi , sengaja atau tidak sengaja, tidak bisa membedakan mana yang merupakan “gagasan” dan mana yang merupakan “janji”.

Ad.2.Menuduh Jokowi nonmuslim

Tidak benar:

Hampir semua media memberitakan bahwa, ada pihak-pihak tertentu yang mengatakan Jokowi dan atau ibu Jokowi adalah seorang non muslim. Informasinya diperoleh dari internet. Bahkan juga diisukan, Jokowi belum pernah naik haji.

Benar:

Ternyata, tuduhan itu tidak benar. Ibunya Jokowi ternyata seorang muslimah. Bahkan Jokowi , ibunya sudah lama menjalankan rukun Islam yang kelima, yaitu naik haji.

Logika:

Ketika sumber informasi ditanya (ditayangkan di TV swasta) darimana dia dapat informasi kalau ibunya Jokowi nonmuslim? Jawabnya, dari internet. Sebuah jawaban yang tidak ilmiah karena tidak didukung fakta-fakta objektif yang sahih. Hanya percaya membabi buta informasi dari internet. Tanpa melakukan konfirmasi langsung kepada pihak yang dituduh nonmuslim.

Ad.3.Menuduh Jokowi musyrik

Tidak benar:

Ada yang mengatakan, Jokowi musrik karena mengatakan bahwa banjir adalah salahnya hujan. Tidak ada satupun bukti yang mengatakan bahwa Jokowi menyalahkan hujan. Tidak ada kata “salah” yang diucapkan Jokowi.

Benar:

Yang benar, Jokowi menyatakan bahwa salah satu penyebab banjir adalah air hujan yang datang dari arah Bogor, langit dan air laut. Mengatakan penyebab banjir tidak sama dengan menyalahkan hujan. Sebab mengatakan penyebab adalah di dalam konteks hukum alam, yaitu hubungan antara sebab dan akibat.

Logika:

Apa jadinya kalau kita bicara tentang ilmu alam yang mengandung hukum sebab dikatakan musyrik. Bisa jadi orang yang rumahnya roboh karena tanah longsor, akan menyalahkan tanah, akan dituduh musrik. Bisa jadi orang yang apartemennya disambar petir, menyalahkan petir dan akan dikatakan musrik. Mengatakan penyebab banjir salah satunya akibat hujan adalah di dalam konteks hukum alam. Kecuali kalau ada kata-kata “menyalahkan hujan”, tentu tidak pas, sebab hujan adalah karunia dari Tuhan. Yang pasti Tuhan tidak sama dengan seluruh ciptaannya.

Ad.4.Menuduh Jokowi korupsi

Tidak benar:

Tuduhan Jokowi sudah lama ditulis di internet. Dengan cerita yang seolah-olah masuk akal maka dikatakan bahwa selama Jokowi menjadi Walikota Solo, Jokowi telah melakukan korupsi.

Benar:

Tidak ada bukti atau saksi yang membenarkan tuduhan yang bersifat fitnah tersebut. Semua hanya merupakan rekayasa cerita yang Cuma bersifat mendiskreditkan Jokowi saja.

Logika:

Jokowi korupsi?  Kalau memang Jokowi korupsi, kenapa tidak ada yang lapir ke pihak kepolisian atau ke KPK? Kenapa Cuma bicara saja? Kenapa Cuma menduh saja? Menuduh tanpa disertai bukti-bukti dan saksi-saksi yang kuat tergolong fitnah yang sangat keji. Menuduh tanpa bukti dan saksi justru merupakan suudzon yang merupakan penyakit hati.

Ad.5.Menuduh Jokowi dengan cara memperalat ayat suci Al Qur’an

Tidak benar:

Bukan hal yang baru kalau ayat-ayat suci “diperalat” untuk mendiskreditkan Jokowi. Bukan salah Al Qur’annya. Bukan salah haditsnya. Bukan salah terjemah atau tafsirnya. Tetapi, ayat-ayat suci ditempatkan pada “konteks” yang salah. Bahkan ayat-ayat suci telah dijadikan “alat” untuk menyerang Jokowi.

Benar:

Serangan-serangan yang membawa-bawa ayat suci Al Quran tidak pernah didukung bukti-bukti. Hanya merupakan rekayasa orang-orang yang tidak suka terhadap Jokowi saja.

Logika:

Al Quran tidak mungkin salah. Terjemah atau tafsir Al Quran bisa saja salah. Apalagi kalau ditafsirkan di dalam konteks membela diri atau menyerang orang lain yang tidak disukainya. Ayat-ayat suci dicocok-cocokkan dengan hal-hal yang kelihatannya masuk akal dan relevan. Hanya menggunakan Ilmu TakTikTuk  (Otak Atik Gatuk), kata orang Jawa. Ayat-ayat suci telah dijadikan alat politik karena menganggap serangan menggunakan ayat suci pasti akan dipercaya semua mat Islam. Padahal, itu menunjukkan ketidakmampuannya menggunakan argumentasi yang rasional objektif.

B.Kenapa Jokowi dideskreditkan?

Ada beberapa sebab Jokowi dideskreditkan:

1-Sirik atau iri

2-Takut kalau capresnya kalah

3.Cara berlogika yang salah

4.Fanatik sempit

5.Tidak faham atau kurang memahami politik

Ad.1-Sirik atau iri

Pada dasarnya, serangan-serangan, caci maki, fitnah dan semacamnya yang ditujukan ke Jokowi semata-mata karena sikap sirik, iri atau dengki. Sebab, selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, hampir semua lembaga survei mengatakan bahwa Jokowi adalah capres yang paling populer dan mempunyai tingkat elektabilitas tertinggi dibandingkan capres-capres lainnya. Padahal, belum tentu Jokowi akan jadi capres pada pemilu 2014.

Ad.2-Takut kalau capresnya kalah

Berdasarkan hasil-hasil berbagai lembaga survei yang selalu mengunggulkan Jokowi, maka ada rasa ketakutan bagi sebagian orang kalau-kalau capres idamannya akan dikalahkan oleh Jokowi. Oleh karena itu berbagai upaya dilakukannya, antara lain dengan menyebarkan rasa kebencian kepada Jokowi, baik lewat Twitter, Facebook, blog,website , SMS, BBM dan cara-cara lainnya.

Ad.3.Cara berlogika yang salah

Penyebab lainnya yaitu cara berlogika yang salah. Antara lain, karena Jokowi bukan dari parpol Islam, maka dianggap kebijakan-kebijakannya tidak akan pro Islam. Atau, karena Jokowi didukung PDI-P yang merupakan salah satu parpol besar, dianggap membahayakan parpol-parpol kecil.

Ad.4.Fanatik sempit

Fanatik sempit bisa karena agama, bisa fanatik sempit terhadap parpol tertentu atau fanatik sempit terhadap capres idamannya. Fanatik sempit agama, karena Jokowi dianggap orang Islam tetapi bukan dari komunitas Islamnya. Karena Jokowi berasal dari PDI-P dan bukan dari parpolnya, maka Jokowi dianggap sosok yang tidak tepat menjadi presiden. Fanatik sempit karena yakin bahwa capres idamannya sendirilah yang dianggapnya paling berkualitas, padahal apa kriteria kualitas yang universal tidak tahu. Jadi, ukurannya adalah dirinya sendiri secara subjektif sempit dan tidak mampu menilai Jokowi secara objektif dalam konteks wawasan yang lebih luas.

Ad.5.Tidak faham atau kurang memahami politik

Sekitar 70% (angka estimasi) pemilih tergolong belum gaham politik dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini antara lain karena lebih dari 50% pemilih hanya lulusan SD atau SD tidak tamat. Bahkan dikalangan sarjana S1, S2 dan S3 juga sangat banyak yang tidak faham politik. Antara lain tidak bisa membedakan pengertian kepala negara, presiden, negarawan, politisi dan pemimpin.Tidak faham Pancasila, UUD 1945, MKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Tidak bisa membedakan ideologi atau keyakinan. Tidak memahami wawasan kebangsaan dan kenegaraan dalam arti yang lebih luas.

C.Bagaimana reaksi Jokowi?

Jokowi bukanlah tipe-tipe “kejahatan dibalas dengan kejahatan”. Bagi Jokowi, semua caci-maki, fitnah dan semacamnya dianggap hal-hal yang biasa-biasa saja di dalam berpolitik. Jokowi yang “low profile” tidak mau membalas emosi dengan emosi. Tidak mau membalas fitnah dengan fitnah. Jokowi tidak mau caci maki dibalas dengan caci maki. Sikapnya yang rendah diri dan tidak emosional menunjukkan bahwa Jokowi memang sosok yang memahami psikologi-politik walaupun Jokowi bukan sarjana psikologi. Jokowi adalah tipe-tipe “banyak bekerja”dan bukan “banyak ngomong” seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang sirik terhadapnya. Sebab, orang sirik pada umumnya tidak punya karya apa-apa.

Kesimpulan

Kesimpuannya adalah, semua cara-cara yang digunakan untuk mendiskreditkan Jokowi adalah cara-cara jadul. Sudah kuno dan tidak bermanfaat serta tidak efektif. Mubazir.

Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku politik
Sejak 1973

POLITIK: Pemilu Bukan Untuk Kepentingan Rakyat

FACEBOOK-PolitikPemiluBukanDemiKepentinganRakyat

DESAIN pemilu di Indonesia sejak dulu hingga sekarang masih bersifat “dari politisi untuk politisi” dan belum “dari rakyat untuk rakyat”.  Hal ini bisa dilihat dari sistem politik dan pembuatan undang-undang yang tidak pernah mendengarkan keinginan rakyat. Semua dipikir dan diputuskan sendiri oleh pemerintah yang berkuasa dan DPR. Rakyat belum menjadi subjek politik tetapi masih merupakan objek politik.

Dari politisi untuk politisi

Undang-undang pemilu sepenuhnya dibuat oleh DPR dan pemerintah tanpa mau menerima masukan-masukan dari rakyat. Dibuat secara sepihak sesuai keinginan mereka, terutama oleh partai berkuasa maupun partai koalisi besar. Kalau kita cermati, maka desain pemilu maupun pilkada masih bersifat dari politisi untuk politisi. Antara lain, terlalu mudah persyaratan untuk menjadi pemimpin maupun wakil rakyat. Syarat-syarat lebih bersifat administratif. Tidak ada persyaratan yang ketat menyangkut keahlian, keterampilan, leadership yang baik, integritas maupun kompetensi. Bahkan beberapa parpol menerapkan sistem “wani piro”, asal bayar bisa menjadi caleg. Begitu juga untuk menjadi capres, terkesan sekali siapa saja boleh mencapreskan diri atau dicapreskan asal mendapat dukungan dari partai politik.

Belum dari rakyat untuk rakyat

Hampir 100% capres dan caleg tidaklah berdasarkan usulan rakyat,melainkan berdasarkan ambisi pribadi masing-masing politisi. Walaupun seolah-olah berdasarkan rapat partai, tetapi semuanya hanya basa-basi saja. Hampir belum pernah ada capres atau caleg yang diusulkan dan didukung rakyat. Hanya ambisi-ambisi pribadi perorangan saja. Bahkan hampir semua capres maupun caleg berani mengeluarkan uang berapapun besarnya. Cara mengumpulkan danapun dengan segala cara, mulai dari menjual tanah pribadi, berhutang, mendapatkan bantuan dana dari pengusaha maupun dari luar negeri atau cara-cara lain. Jelaslah, rakyat tidak dilibatkan dalam proses pencalonan mereka.

Rakyat belum menjadi subjek politik

Maka jelaslah, rakyat belum menjadi subjek politik. Artinya, rakyat tidak pernah diajak mendesain pemilu yang benar-benar pro rakyat. Hampir boleh dikatakan pemilu bukan hasil daripada pemikiran-pemikiran rakyat. Misalnya ada rakyat yang mengusulkan agar besaran angka koalisi parpol 50% dari perolehan suara dari beberapa parpol agar terjadi keseimbangan kontrol di DPR, tidak pernah didengarkan dan diakomodasi. Adanya usulan agar persyaratan menjadi capres dan caleg dipersulit agar bisa menghasilkan capres dan caleg yang berkualitas, tidak pernah direalisasikan di dalam undang-undang pemilu.

Rakyat masih menjadi objek politik

Sejujurnya saja, rakyat masih dijadikan objek politik. Hal ini bisa dilihat, menjelang pemilu ataupun pilkada, baru ada “gerakan” mencari simpati rakyat. Berbagai cara. Mulai dari mengobral janji-janji gombal hingga bagi-bagi sembako gratis dan bahkan secara diam-diam bagi-bagi uang. Demi siapa? Demi kepentingan politisi. Semua janji-janjinya seolah-olah demi rakyat. Yang sembako murahlah, yang pendidikan gratislah, yang kesehatan gratislah, yang perbaikan infra strukturlah, yang inilah yang itulah. Kenyataannya, sesudah menang dan terpilih, maka yang terjadi adalah mereka ingin berkuasa, mendapatkan proyek, memperkaya diri sendiri dan ingin berkuasa terus.

Indikator-indikator tidak pro rakyat

Sebenarnya mudah untuk menemukan indikator-indikator politisi yang tidak pro rakyat.

Antara lain:

-Dalam APBN/APBD, anggaran rutin lebih besar daripada anggaran pembangunan
-Pemerintah cenderung membebani rakyat dengan cara menambah utang, terutama utang luar negerinya
-Lebih memprioritaskan impor pangan daripada mandiri pangan
-Tidak ada usaha nyata untuk menambah jumlah penyidik KPK hingga pada jumlah yang ideal
-Kurang melindungi petani.Hal ini tercermin semakin berkurangnya lahan pertanian karena melakukan pembiaran penjualan sawah demi kepentingan pengusaha
-Lebih mementingkan kapitalis asing daripada para pemodalam dalam negeri
-Kekayaan alam diserahkan ke negara asing daripada dikelola sendiri oleh pemerintah
-Sangat terasa adanya “penjajahan ekonomi” yang merugikan pengusaha kecil
-Gaji anggota Trias Politika , terlalu besar jika dibandingkan dengan hasil kerjanya yang tidak seberapa
-Pembangunan di wilayah perbatasan, anggarannya terlalu kecil
-Jumlah PNS terlalu banyak sedangkan jumlah TNI dan polri kurang memadai
-Adanya pemilu atau pilkada yang didesain bisa melakukan kecurangan
-Tidak adanya pendidikan dan pencerahan politik bagi para pemilih yang 70% hanya berpendidikan lulus SD atau tidak lulus SD dan kenyataannya para pemilih masih banyak yang awam politik
-Masih adanya praktek money politik, adanya usaha menyusupkan orang-orang partai ke lembaga-lembaga pemilu maupun pilkada, usaha mengadakan pemilih fiktif dam usaha-usaha curang lainnya yang mencerminkan demi kepentingan politisi daripada kepentingan rakyat

Hanya politisi belum negarawan

Dengan demikian, pemilu hanya menghasilkan politisi dan bukan pemimpin ataupun negarawan ataupun bangsawan. Hanya menghasilkan politisi karena sesudah menjadi pemimpin atau wakil rakyat, konsentrasi pikirannya masih demi kepentingan politik daripada kepentingan rakyat. Sehingga masih terjadi, sudah menjadi presiden atau menteri tetapi masih memegang jabatan di partai politik. Sudah menjadi anggota DPR tapi masih sibuk cari proyek untuk mendanai kegiatan politiknya. Mereka belum negarawan dan belum bangsawan karena mereka tidak serius memikirkan negara maupun bangsa.

Kesimpulan

-Berdasarkan berbagai fakta yang ada, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa desain pemilu masih bersifat dari politisi untuk politisi dan masih menjadikan rakyat sebagai objek politisi. Ddesain pemilu belum dari rakyat untuk rakyat karena rakyat belum menjadi subjek politik yang bisa menentukan desain politik yang pro rakyat. Dengan demikian, rakyat yang berbondong-bondong ke TPS hanya merupakan korban daripada tipu-tipu politik yang lebih menguntungkan para politisi daripada rakyat.

-Pemilu hanya menghasilkan politisi, bukan pemimpin dalam arti yang sesungguhnya, bukan negarawan maupun bangsawan.

Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku
Sejak 1973

POLITIK: Pemilu Jujur Umumkan Per-TPS

Pemilu2014-haryono-idBSCom

SELAMA ini hasil pemilu diumumkan langsung per-provinsi. Misalnya, Propinsi A 71.035.456 suara, Propinsi B sekian, Propinsi C sekian dan seterusnya. Masyarakat tidak tahu dari mana asal usul angka tersebut. Tidak tahu hasil per kabupaten/kota. Apalagi hasil per-TPS. Sistem pengumuman hasil pemilu seperti itu sangat rawan manipulasi suara. Rawan ketidak jujuran. Tepatnya, rawan kecurangan.

Perlu penggantian sistem

Sistem seperti itu harus diganti dengan sistem pengumuman hasil pemilu per-TPS. Kalau jumlah TPS se-Indonesia ada sekitar 550.000 TPS, maka harus diumumkan per-kabupaten/kota dan diuraikan per-TPS. Misalnya, Kotamadya Tangerang Selatan, Kecamatan A, Kelurahan B, TPS No.28 hasilnya untuk parpol, caleg dan capres sekian. Dengan demikian di website KPU ada kolom kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa, TPS,hasil parpol. hasil pileg dan hasil capres. Tentu, di kolom paling bawah ada hasil per propinsi dan hasil secara nasional. Hasil pemilu seperti itu bisa dimuat di website KPU dalam format tabel ataupun dengan fasilitas “search”.

Tidak sulit dan tidak ribet

Sulit? Ribet? Tidak sulit dan tidak ribet. Sebab, Indonesia sudah memiliki puluhan ribu tenaga ahli TI (Teknologi Informasi) dan proses “data entry” bukanlah hal yang sulit. KPU bisa bekerja sama dengan para ahli TI tersebut. Dengan demikian masyarakat bisa mencek atau mencocokkan hasil per-TPS di TPS tempat seseorang memilih dengan hasil per-TPS yang diumumkan di website KPU. Misalnya, Si A memilih di Tangerang Selatan, Kecamatan A, Kelurahan B, TPS No.28 bisa melihat hasilnya untuk tiap parpol, tiap caleg maupun tiap capres. Bahkan bisa mengetahui hasil per kabupaten/kota, per-provinsi dan secara nasional. Hanya pengumuman dengan sistem seperti itulah yang bisa menyakinkan masyarakat bahwa pemilu benar-benar jujur an bisa diaudit oleh masyarakat. Bahkan jika terjadi kekeliruan, masyarakatpun bisa memberikan masukan atau koreksi dengan mudah. Tidak sulit. Tidak ribet.

Sumber gambar: haryono-id.blogspot.com

Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku
Sejak 1973