• PARTAI POLITIK

    gambarbannerpartaigasing1

    gambarbannerpartaiyoyo1

    logo-apajpg1

    logo-barisannasionaljpg4

    logo-bulanbintangjpg1

    logo-gerindrajpg

    logo-hanurajpg

    logo-panjpg1

    logo-partaidemokratjpg

    logo-partaigarudajpg

    logo-partaigolkarjpg

    logo-pdipjpg

    logo-pibjpg

    logo-pkbjpg

    logo-pkdjpg

    logo-pknujpg

    logo-pkpjpg

    logo-pksjpg

    logo-pmbjpg

    logo-pnimarhaenjpg

    logo-ppijpg

    logo-pppjpg

POLITIK: Korupsi Tanggung Jawab Mereka Yang Tidak Golput

FACEBOOK-PolitikKorupsiTanggungJawabMerekaYangTidakGolput

SISTEM ataupun desain politik di Indonesia boleh dikatakan belum profesional. Kualitasnya masih  setara tahi kucing. Mengurus DPT saja tidak becus. DPT kacau atau memang sengaja dikacaukan. Pelaksanaannya juga amburadul. Hasil pemilupun tidak bisa diaudit atau tidak boleh diaudit. Tranparansi boleh dikatakan tidak ada. Peluang kecurangan terbuka lebar mulau dari lembaga pemilu pusat hingga daerah. Terlalu banyak oknum penyelenggara pemilu yang rberpotensi rawan suap. Adanya pihak ketiga yang campur tangan secara diam-diam. Celakanya, 70% pemilih tergolong pemilih yang tidak faham politik. Apalagi, sekitar 50% pemilih hanya lulusan SD atau SD tidak tamat. Pencerahan dan pendidikan politik bagi masyarakat boleh dikatakan tidak ada. Jelas, selama ini pemilu maupun pilkada tergolong kegiatan yang masih amatiran.

Belum ada pencerahan dan pendidikan politik

Demokrasi langsung di Indonesia salah jalan. Belum ada program pencerahan dan pendidikan politik bagi masyarakat, langsung masyarakat dilibaatkan dalam pemilu ataupun pilkada langsung. Apalagi, sekitar 50% pemilih merupakan lulusan SD atau SD tidak tamat. Mereka yang berpendidikan S1, S2 dan S3 saja masih banyak yang awam politik. Jadi, betapa lucunya pemilu di Indonesia yang harus diiuti oleh 70% pemilih yang masih awam politik.

Memilih berdasarkan imu kira-kira

Konsekuensi dari kualitas pemilih yang rendah, maka merekapun memilih calon pemimpin maupun caleg hanya berdasarkan ilmu kira-kira. Mereka tidak faham track record politisi itu apa dan bagaimana cara menilainya. Mereka tidak tahu apa kriteria calon pemimpin dan caleg yang berkualitas. Akibatnya, mereka memilih hanya berdasarkan ilmu kira-kira saja.

Mudah terpengaruh

Dengan kondisi kualitas pemilih yang rendah, maka mereka sangat mudah terpengaruh. Mulai dari pengaruh uang (money politik), janji-janji sorga yang ujung-ujungnya janji gombal, terlalu percaya dengan hasil-hasil survei politik yang sebenarnya rekayasa dan bertujuan menggiring opini mereka, terpengaruh iklan-iklan di TV, radio, spanduk dan alat peraga lainnya. Percaya apa yang dikatakan pemimpin lokalnya (bupati, camat, lurah dan lain-lain). Mengikuti apa saja yang dikatakan guru agamanya seolah-olah apa yang dikatakan guru agamanya tidak mungkin salah.

Mengira pemilu itu wajib

Sekitar 70% pemilihpun beranggapan bahwa memilih dalam pemilu adalah wajib. Padahal, memilih adalah hak. Hak artinya boleh memilih boleh tidak memilih. Masalahnya adalah, mereka tidak tahu bedanya pengertian wajib dan hak. Mereka datang ke TPS biasanya karena takut dikatakan golput seolah-olah golput itu buruk.

Takut fatwa haram golput

Kalau mendengar fatwa, maka rasio merekapun tidak digunakan. Mereka percaya begitu saja. Padahal,penyebab golput itu sangat banyak. Karena golput dikonotasikan negatif, maka merekapun takut melanggar fatwa haram golput. Seolah-olah kalau golput mereka akan masuk neraka. Sebuah logika yang sangat koplak.

Salah pilih

Karena ketidakfahaman mereka tentang politik,maka para pemilih akhirnya asal pilih. Akibatnya adalah, calon pemimpin dan caleg yang mereka pilih adalah figur-figur yang tidak berkualitas. Antara lain korupsi, menjual kekayaan alam ke kapitalis asing dengan harga murah, salah kelola APBN. Terjadilah macam-macam bencana. Antara lain bencana ekonomi, bencana hukum, bencana HAM, bencana perbankan dan bencana-bencana lain di berbagai sektor. Utang pemerintahpun tidak pernah berkurang secara signifikan, melainkan justru bertambah secara signifikan.

Korupsi tanggung jawab mereka yang tidak golput

Dengan demikian, karena 70% pemilih adalah pemilih yang tidak faham politik, tidak cerdas, tidak faham track record, tidak tahu kriteria kualitas, mudah terpengaruh uang, hasil survei, iklan dan janji, maka akhirnya mereka memilih hanya berdasarkan ilmu kira-kira saja. Mereka banyak salah pilihnya karena ternyata figur yang mereka pilih adalah figur koruptor. Korupsipun semakin merajalela di Indonesia. Jadi, mereka harus bertanggung jawab atas kesalahannya. Mereka harus secara jujur mengakui bahwa mereka telah salah pilih.

Hariyanto Imadha
Pengamat perilaku politik
Sejak 1973